Oleh: Isralasmadi, Pemerhati Kebijakan Publik
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan 18 proyek hilirisasi besar dengan nilai investasi mencapai US$ 38,63 miliar atau setara Rp618,13 triliun. Dokumen pra studi kelayakan proyek tersebut sudah diserahkan Ketua Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia, kepada CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Rosan Roeslani di Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Proyek-proyek tersebut tersebar di sejumlah daerah strategis di Indonesia, mulai dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga Jawa. Dari industri smelter aluminium, DME batu bara, oleofood berbasis sawit, hingga bioavtur, seluruhnya diproyeksikan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Nilai investasi tiap proyek pun fantastis, berkisar dari ratusan miliar hingga puluhan triliun rupiah. Namun dari 18 proyek strategis itu, tidak ada satupun yang ditempatkan di Provinsi Jambi.
Padahal, beberapa proyek seperti hilirisasi batu bara (DME), oleofood kelapa sawit, maupun pengolahan produk turunan kelapa sangat relevan untuk ditempatkan di Jambi. Provinsi ini memiliki sumber daya melimpah yang bisa menopang industri hilirisasi tersebut. Ketidakhadiran Jambi dalam daftar kembali memunculkan pertanyaan besar: mengapa Jambi selalu absen dari proyek strategis nasional?
Ada beberapa faktor yang patut dicermati. Pertama, citra Jambi sebagai daerah rawan korupsi. Berdasarkan catatan KPK, skor Monitoring Center for Prevention (MCP) Pemprov Jambi hanya 72,37, jauh di bawah rata-rata nasional 82,06. Indikator seperti optimalisasi pajak (47), pengadaan barang dan jasa (52), serta pengawasan internal (75) menunjukkan lemahnya tata kelola. Kondisi ini jelas menurunkan minat investor yang tentu tidak ingin berhadapan dengan risiko tinggi di daerah penuh titik rawan korupsi.
Kedua, Jambi juga tercatat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat perjudian online tertinggi di Indonesia. Kapolri menyebutkan sebagian besar pelakunya adalah anak-anak muda, termasuk pelajar SMP dan SMA, bahkan kalangan ASN. Fenomena ini bukan hanya persoalan moral dan hukum, tetapi juga mencerminkan kerentanan kualitas sumber daya manusia di daerah. Investor tentu akan mempertimbangkan kualitas SDM lokal sebelum menanamkan modal.
Ketiga, lemahnya kemampuan lobi pemerintah daerah. Di banyak kasus, daerah yang berhasil mendapatkan proyek besar adalah daerah yang aktif melakukan pendekatan ke kementerian dan pemerintah pusat. Mereka membentuk tim lobi yang serius untuk memperjuangkan kepentingan daerahnya. Jambi sebaliknya, terlihat pasif dan lemah dalam diplomasi anggaran. Akibatnya, banyak peluang proyek strategis luput dari genggaman.
Situasi ini semakin mempertegas betapa Jambi selalu berada di pinggiran dalam peta pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata nasional, batalnya rencana pembentukan Kodam baru, hingga bandara internasional yang tak kunjung terealisasi, kini diperparah dengan ketiadaan proyek hilirisasi. Semua ini menimbulkan pertanyaan keras: apa sebenarnya yang sedang dikerjakan pemerintah provinsi?
Apakah cukup hanya sekadar memasang bendera di jembatan untuk menunjukkan peran dalam pembangunan? Atau sudah saatnya Pemprov Jambi mengevaluasi strategi, memperkuat tata kelola, memberantas praktik korupsi dan judi online, serta membangun lobi yang efektif agar tidak terus-menerus tersisih dari peta investasi nasional? (**)
Discussion about this post