Oleh: Firmansyah, SH, MH
KRITIK terhadap pelaksanaan Festival Tumpah Ruah oleh Pemerintah Kota Jambi di kawasan Terminal Rawasari, seperti yang disampaikan pengamat pemerintahan Dr. Dedek Kusnadi.
Kata Dedek di era kepemimpinan Wali Kota Syarif Fasha, terminal yang representatif telah dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan aksesibilitas angkutan publik perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih utuh dan berimbang. Saya merasa perlu memberikan klarifikasi dan catatan sejarah agar publik tidak terjebak dalam penilaian yang bias.
Terminal Rawasari bukanlah sekadar titik transit angkutan kota. Sejak dibangun pada era 1970-an, kawasan ini merupakan simpul ekonomi masyarakat Jambi. Puncak kejayaannya terjadi pada 1990-an, ketika terminal menjadi pusat mobilitas masyarakat dan dikelilingi oleh aktivitas ekonomi kaki lima terutama kuliner seperti warung nasi Padang dan Kapau.
Namun, waktu telah berubah. Pola mobilitas masyarakat juga ikut bergeser drastis. Kredit sepeda motor yang makin mudah, kehadiran ojek online, dan menurunnya minat terhadap angkutan umum membuat terminal kehilangan fungsinya secara alamiah. Oplet ikon transportasi kota Jambi tempo dulu perlahan menghilang dari jalanan. Maka tak mengherankan, jika Terminal Rawasari kian sepi dan akhirnya mangkrak, meskipun sempat direhabilitasi di masa Wali Kota Syarif Fasha.
Revitalisasi terminal menjadi “Rumah Milenial”, seperti yang kini direncanakan Wali Kota Maulana Diza, bukanlah bentuk kegagalan dalam menyediakan angkutan publik seperti yang dituding Dr. Dedek Kusnadi.
Justru, ini adalah langkah realistis untuk menghindari kerugian negara akibat aset publik yang terbengkalai. Festival Tumpah Ruah adalah simbol awal kebangkitan kawasan Rawasari dari proyek mangkrak menjadi ruang publik yang produktif, kreatif, dan ramah generasi muda.
Perlu saya tekankan, fungsi terminal dan ruang publik tidak harus eksklusif. Banyak kota besar memadukan kedua fungsi ini: terminal tetap hidup, namun dengan penyesuaian kebutuhan zaman dan disinergikan dengan aktivitas ekonomi masyarakat. Pemanfaatan ruang publik dengan pendekatan inklusif seperti ini justru mencerminkan visi kota yang adaptif.
Jika Pemkot memang berencana mengubah peruntukan Terminal Rawasari secara permanen, maka tentu langkah ini harus diikuti dengan penyusunan regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan kesalahan administratif. Namun menganggap festival atau rencana alih fungsi sebagai bentuk kedangkalan visi pemerintahan Maulana – Diza, menurut saya, adalah penilaian yang tergesa-gesa dan keliru secara substansi.
Justru sebaliknya, Pemerintah Kota Jambi tengah mencoba menyelamatkan kawasan ini dari status quo yang stagnan. Bahwa pengadaan dua unit bus listrik mungkin belum sempurna, itu bisa diperdebatkan dalam konteks perencanaan. Namun tak bisa dijadikan dasar bahwa keseluruhan upaya revitalisasi dan transformasi Rawasari adalah kesalahan.
Pemerintah tidak bisa berjalan mundur demi mempertahankan romantisme masa lalu yang sudah tidak relevan dengan realitas hari ini. Rawasari perlu “reborn” dengan semangat baru, konsep baru, dan keberpihakan pada masa depan kota yang lebih inklusif, adaptif, dan efisien dalam pemanfaatan aset publik.(***)
Discussion about this post