GMSMEDIA.CO.ID-Proyek pembangunan pusat perbelanjaan Jambi City Center (JCC) di kawasan eks Terminal Simpang Kawat kembali menjadi sorotan publik. Model kerja sama pembangunan antara pemerintah daerah dan pihak swasta dalam skema Build, Operate, Transfer (BOT) itu disebut-sebut mengulang pola bermasalah seperti yang terjadi pada proyek Lombok City Center (LCC) di Nusa Tenggara Barat, yang kini tengah disidangkan karena dugaan korupsi.
Pengelolaan JCC berada di bawah kendali PT Bliss Properti Indonesia (BPI) melalui anak usahanya, PT Utama Teguh Abadi. Perusahaan yang sama sebelumnya juga menggarap proyek LCC, yang belakangan gagal total dan menyisakan utang jumbo serta persoalan hukum akibat penggunaan aset daerah sebagai agunan kredit.
Pola itu tampaknya kembali diulang di Jambi. Dalam kerja sama BOT antara Pemkot Jambi dan PT BPI tertanggal 15 September 2014, disebutkan bahwa pengembang dapat menjaminkan hak atas tanah proyek jika disetujui oleh pemerintah. Persetujuan tersebut tertuang dalam surat resmi Wali Kota Jambi pada 22 Januari 2016, yang mengizinkan SHGB Nomor 25 atas nama PT BPI dijaminkan ke Bank Sinarmas.
Pinjaman dilakukan sejak 2016, sementara pembangunan fisik baru rampung dua tahun kemudian. Laporan tahunan PT Bliss tahun 2024 mencatat bahwa utang kepada Bank Sinarmas telah mencapai Rp252,6 miliar dengan bunga pinjaman sebesar 17 persen per tahun. Lahan proyek seluas 8.842 meter persegi dijadikan agunan.
Dalam perjanjian, Pemkot Jambi dijanjikan kontribusi Rp85 miliar selama 30 tahun masa kerja sama, dalam tiga tahap pembayaran. Namun dari jumlah tersebut, baru tahap pertama sebesar Rp7,5 miliar yang masuk ke kas daerah. Dua tahap sisanya belum terealisasi karena mall belum beroperasi penuh hingga pertengahan 2025.
Praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik Firmansyah, SH, MH, menilai bahwa pola ini tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga mengandung potensi pelanggaran hukum dan merugikan keuangan daerah. Ia menyebut modus JCC sangat mirip dengan kasus pidana perbankan lainnya, termasuk kasus yang pernah menyeret Bank 9 Jambi.
“Ini perusahaan yang sama, dengan modus yang sama pula. Menawarkan pembangunan dengan skema BOT, lalu menjaminkan SHGB proyek ke bank. Bukankah prinsip BOT itu pemerintah menyediakan lahan, sedangkan swasta yang membangun dan mengelola?” ujar Firmansyah, Jumat (14/6/2025).
Ia mempertanyakan logika skema tersebut yang pada akhirnya membebani aset negara untuk pinjaman swasta. “Kalau ujung-ujungnya pinjam ke bank, lebih baik pemerintah saja yang membangun menggunakan APBD atau dana talangan dari bank, ketimbang menggadaikan tanah negara atas nama swasta,” begitu juga BOT JBC selalu saya ingatkan jangan sampai kecolongan. tegasnya.
Kasus LCC di NTB menjadi cermin jelas. Dalam proyek tersebut, PT Bliss mengagunkan SHGB atas lahan milik Pemkab Lombok Barat ke Bank Sinarmas dan memperoleh kredit Rp263 miliar. Proyeknya tak berjalan sejak 2017, menyisakan tunggakan lebih dari Rp500 miliar. Lahan pun akhirnya disita oleh kejaksaan sebagai barang bukti dalam perkara yang menyeret mantan bupati dan sejumlah direktur perusahaan.
Jaksa menyatakan bahwa penggunaan aset negara sebagai agunan melanggar Pasal 49 ayat (5) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyebut barang milik negara atau daerah tidak boleh dijadikan jaminan utang.
Dengan melihat kemiripan pola, pelaku, dan konsekuensi hukum dari dua proyek ini, desakan kepada aparat penegak hukum untuk segera menyelidiki proyek JCC semakin menguat. Skema yang tak membawa pemasukan, tapi justru memicu beban utang dan berisiko menyeret aset publik, dikhawatirkan hanya akan menjadi preseden buruk lain dalam pengelolaan investasi daerah.(***)
Discussion about this post