Oleh: Firmansyah, S.H., M.H.
Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik
DALAM dinamika pengelolaan anggaran daerah, transparansi dan akuntabilitas semestinya menjadi prinsip utama. Namun, sejumlah proyek Pemerintah Kota Jambi yang dikerjakan melalui skema Penunjukan Langsung (PL) dengan nilai di bawah Rp 200 juta justru menimbulkan pertanyaan dan keraguan publik.
Muncul dugaan bahwa skema PL ini tidak sepenuhnya dijalankan atas dasar kebutuhan teknis, melainkan menjadi ajang formalitas bagi-bagi “kue” kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, khususnya sebagai balas jasa politik pasca Pilkada lalu.
Indikasi tersebut tampak dari pola pelaksanaan proyek: dipecah menjadi ratusan paket kecil yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan yang sama. Bahkan, terdapat perusahaan yang mengerjakan hampir sepuluh paket dalam satu tahun anggaran. Secara hukum, tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang satu perusahaan memperoleh lebih dari satu kontrak PL, selama tidak terdapat konflik kepentingan atau pelanggaran regulasi khusus.
Namun, dari perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), praktik ini berpotensi merusak kepercayaan publik. Penunjukan satu perusahaan untuk banyak proyek secara beruntun dalam skema non-lelang mengundang pertanyaan serius: apakah prinsip keadilan dan pemerataan dalam pengadaan telah dijalankan? Apakah ini mencerminkan kesungguhan Maulana-Diza dalam mewujudkan visi Kota Jambi Bahagia?
Apalagi jika pemecahan proyek dilakukan dengan maksud menghindari mekanisme lelang terbuka, tindakan ini tidak hanya mencederai prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah yang transparan dan akuntabel, tapi juga berpotensi melanggar hukum. Sesuai regulasi, penghindaran lelang dengan cara memecah paket proyek dapat dikenakan sanksi administratif, tuntutan ganti rugi, bahkan ancaman pidana.
Lebih jauh, jika terdapat perubahan nilai atau nomenklatur proyek yang menyebabkan pemecahan, seharusnya mekanismenya melewati persetujuan DPRD Kota Jambi. Ketiadaan proses ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prosedural dalam pengelolaan keuangan daerah.
Pemerintah Kota Jambi dituntut untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik: bagaimana proses penunjukan langsung itu dilakukan? Siapa saja pihak-pihak yang menerima proyek? Apakah sudah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap output dari proyek-proyek tersebut?
Dalam semangat reformasi birokrasi dan transparansi anggaran, masyarakat berhak tahu. Dan jika memang ditemukan indikasi penyimpangan, maka sudah seharusnya penegak hukum tidak tinggal diam.(**)
Discussion about this post