Oleh: Firmansyah, SH, MH
(Pemerhati Hukum dan Kebijakan Publik Asal Jambi)
DALAM tradisi pemerintahan yang baik, proyek multiyears (tahun jamak) semestinya lahir dari kebutuhan jangka panjang yang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Ia bukan sekadar proyek fisik, melainkan wujud tanggung jawab pemerintah terhadap masa depan daerah. Namun, jika kita menengok dua proyek besar di Provinsi Jambi saat ini pembangunan Islamic Center dan Sport Center maka layak kiranya kita bertanya: apakah keduanya benar-benar dibangun dengan filosofi itu?
Islamic Center Jambi, yang menelan anggaran sekitar Rp150 miliar, dan Sport Center senilai Rp250 miliar, merupakan dua proyek ambisius yang digagas menggunakan skema multiyears. Jika sekadar melihat nominalnya, publik bisa terkagum. Tapi sebagai putra daerah yang mencintai tanah Jambi, saya justru merasa khawatir.
Sebab, dalam proses penganggarannya, publik tidak diajak bicara secara jujur dan terbuka. Tak ada kajian komprehensif yang dipublikasikan, tak ada forum dengar pendapat yang melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, dan lembaga adat. Padahal, ini proyek raksasa yang kelak akan jadi ‘monumen sejarah’. Sayangnya, alih-alih menjadi simbol peradaban, justru kini disorot karena dugaan cacat prosedur dan potensi pelanggaran hukum.
Proyek multiyears memang diperbolehkan oleh peraturan, namun Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 mengatur tegas bahwa masa pengerjaannya tidak boleh melewati masa jabatan kepala daerah. Proyek Islamic Center dan Sport Center dikerjakan sejak Januari 2022 hingga Desember 2024, padahal Gubernur Jambi dan wakilnya akan berakhir masa jabatannya pada Oktober 2024. Maka, secara administratif, proyek ini sudah tergolong “berisiko hukum”.
Selain soal waktu, masalah yang lebih mendalam justru terletak pada lokasi pembangunan Islamic Center. Lahan yang digunakan merupakan bekas arena MTQ Nasional 1997 dan sebelumnya adalah kawasan Kebun Binatang Taman Rimba, yang dahulu dikelola oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Jambi. Yayasan ini telah mendirikan panti asuhan, sekolah, dan masjid di atas tanah hibah sejak tahun 1973.
Sebagai masyarakat Jambi, kita tahu betapa historis dan sakralnya kawasan tersebut. Ia menyimpan memori kolektif masyarakat—dari kenangan masa kecil berkunjung ke kebun binatang, hingga kisah para anak yatim yang dibesarkan di sana. Pertanyaannya: apakah semua aspek legalitas lahan sudah benar-benar bersih dan jelas? Jika tidak, maka pembangunan Islamic Center bisa menjadi sumber konflik sosial dan hukum di kemudian hari.
Lebih jauh lagi, pembangunan proyek besar tanpa kajian dan perencanaan yang matang rawan menghasilkan kegagalan konstruksi. Ini bukan isapan jempol. Jika bangunan roboh, mangkrak, atau tidak bisa dimanfaatkan karena masalah teknis dan administratif, maka potensi kerugian keuangan negara sangat besar. Berdasarkan UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017, hal ini bahkan bisa berujung pada sanksi pidana.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil Jambi, saya mengajak agar BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi bersikap tegas dalam mengaudit kedua proyek ini. Jangan sampai potensi pelanggaran ini dibiarkan tanpa penindakan. Sesuai Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2017, hasil audit harus ditindaklanjuti dalam waktu maksimal 60 hari. Jika ditemukan pelanggaran, maka harus segera diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Jambi butuh pembangunan, ya ?. Tapi bukan pembangunan yang dipaksakan. Bukan pula pembangunan yang merusak nilai-nilai lokal dan melupakan akar sejarahnya. Kita ingin pembangunan yang membumi: sesuai kebutuhan rakyat, tunduk pada hukum, dan membawa manfaat jangka panjang.
Proyek Islamic Center dan Sport Center bisa saja menjadi kebanggaan. Tapi jika dibangun tanpa arah yang jelas, tanpa melibatkan rakyat Jambi dalam prosesnya, maka ia hanya akan menjadi “bangunan mati” yang mahal dan menyakitkan.
Kita berharap, ke depan, para pemimpin daerah lebih bijak dalam merancang proyek. Jangan wariskan bangunan, tapi wariskan kepercayaan, manfaat, dan keberlanjutan bagi generasi Jambi yang akan datang.(***)
Discussion about this post