Oleh : Syaipul Iskandar Ketua Lembaga Gerakan Anak Bangsa (GAB) Peduli Jambi
WACANA perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jambi dengan alasan mengatasi kemacetan angkutan batu bara bukan hanya menuai polemik, tapi juga memperlihatkan cara pandang sempit yang berbahaya. Pernyataan Muhtadi Putra Nusa, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Jambi, yang menyebut RTRW “bisa diubah” demi kebutuhan industri batu bara, layak dikritik keras.
Betul, RTRW bukan kitab suci. Namun, memperlakukan RTRW seolah hanya sebatas dokumen yang bisa diutak-atik untuk melayani kepentingan bisnis sesaat adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. RTRW adalah pedoman tata kelola ruang dan masa depan daerah, bukan lembar kompromi antara pengusaha dan pejabat.
Ketua Lembaga Gerakan Anak Bangsa (GAB) Peduli Jambi, Syaipul Iskandar, menegaskan, pendekatan seperti itu bukan saja dangkal, tapi juga berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan dan masa depan Jambi.
“Masalah kemacetan angkutan batu bara itu hanya gejala. Akar masalahnya ada pada tata kelola yang semrawut dan eksploitasi yang tidak terkendali. Mengubah RTRW atau membangun jalan khusus hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya,” tegas Syaipul.
Muhtadi dalam opininya beranggapan, jika lahan pertanian dianggap “tidak produktif”, maka sah-sah saja dialihfungsikan demi pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Pernyataan itu, bagi Syaipul, adalah logika berbahaya.
“Siapa yang menentukan lahan itu tidak produktif? Apa ada kajian independen yang transparan? Jangan sampai label ‘tidak produktif’ cuma jadi alasan legal untuk mengorbankan petani dan kedaulatan pangan,” kritiknya.
Syaipul juga menyoroti mekanisme kajian teknis, AMDAL, dan partisipasi masyarakat yang kerap hanya formalitas. Alih-alih melindungi kepentingan publik, proses tersebut sering dijadikan alat pembenaran kebijakan yang sebenarnya merugikan rakyat.
“Kalau RTRW bisa diubah semaunya demi kepentingan industri ekstraktif, pemerintah sedang menyiapkan bom waktu. Bukan cuma bencana lingkungan, tapi juga potensi konflik sosial di masa depan,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi Jambi seharusnya tidak tunduk pada tekanan korporasi batu bara. Solusi atas kemacetan bukan dengan menambal ruang tata kota, tapi membenahi tata kelola, memperketat pengawasan, dan mengevaluasi total kebijakan energi.
Jambi tidak butuh pejabat yang cari jalan pintas, apalagi pemimpin yang tunduk pada kepentingan investasi sesaat. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menjaga masa depan daerah ini, sebelum semuanya terlambat.
Debat tentang RTRW bukan sekadar soal peta atau jalan, tapi soal pilihan: mempertahankan Jambi untuk generasi mendatang, atau menggadaikannya demi keuntungan jangka pendek.(***)
Discussion about this post