Oleh : Isralasmadi, Tokoh Pemuda Jambi, Kandidat Doktor Unpad
KEMISKINAN adalah kondisi kekurangan yang membuat seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Ia bisa bersifat absolut kekurangan mutlak atau relatif, yakni tertinggal dibandingkan kelompok lain. Akar persoalan ini sering kali bersumber pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pemerataan sumber daya.
Rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi pada Selasa, 5 Agustus 2025, membeberkan fakta yang seharusnya mengguncang kesadaran publik: pertumbuhan ekonomi Jambi pada semester I 2025 hanya 4,78 persen (year-on-year), jauh di bawah rata-rata nasional 5,12 persen. Laju ekonomi yang melambat ini berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan, khususnya di wilayah perkotaan.
BPS mencatat, tingkat kemiskinan di perkotaan Jambi kini berada di angka 9,52 persen. Artinya, hampir 10 dari setiap 100 penduduk kota di Jambi hidup miskin. Ironisnya, Jambi hanya sedikit lebih baik dari Papua Pegunungan (13 persen), Nusa Tenggara Barat (12,02 persen), DIY (10,16 persen), dan Papua Barat (9,22 persen). Perbandingan ini semakin memalukan jika melihat provinsi seperti Bali, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat, yang tingkat kemiskinannya hanya sekitar 3 persen.
Peningkatan kemiskinan perkotaan di Jambi tidak datang tiba-tiba. Kenaikan Tingkat Pengangguran Terbuka, terutama di kalangan laki-laki yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, menjadi salah satu pemicu utama. Lonjakan harga kebutuhan pokok seperti cabai, minyak goreng, dan bawang putih memukul daya beli warga kota yang sepenuhnya bergantung pada pasar. Urbanisasi yang berlangsung tanpa kendali menambah masalah, karena arus pendatang ke kota tidak diimbangi dengan lapangan kerja memadai, sehingga banyak yang terjebak dalam pengangguran terselubung.
Minimnya sumber daya ekonomi seperti modal, lahan, atau usaha produktif membuat masyarakat perkotaan sulit meningkatkan pendapatan. Bertambahnya jumlah pekerja yang hanya mendapat jam kerja di bawah 35 jam per minggu, namun tetap mencari pekerjaan tambahan, menambah daftar panjang kelompok rentan miskin. Keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan semakin memperparah keadaan, sementara ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin di perkotaan kian melebar, menciptakan tekanan sosial dan ekonomi yang nyata.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah alarm keras bahwa roda ekonomi Jambi tidak berputar untuk semua. Tanpa keberpihakan nyata dalam kebijakan mulai dari penciptaan lapangan kerja, stabilisasi harga kebutuhan pokok, hingga pemerataan akses layanan publik maka wajah kemiskinan perkotaan di Jambi hanya akan semakin suram.(**)
Discussion about this post