Oleh: Nazli, Budak Dusun
KETIKA DPRD Provinsi Jambi menyebut bahwa perbaikan jalan provinsi pada tahun 2026 hanya mencakup sekitar 17 kilometer.Jarak yang setara dengan Kota Jambi hingga Mendalo, publik pantas marah. “Tujuh belas kilometer” itu bahkan belum cukup untuk menambal rusaknya kepercayaan rakyat terhadap kinerja pemerintah daerah.
Dengan alokasi dana hanya Rp56 miliar dari pagu indikatif sekitar Rp182 miliar, pemerintah tampak menyerah sebelum berjuang. Padahal, para ahli memperkirakan Jambi membutuhkan setidaknya Rp400 miliar per tahun agar seluruh jalan provinsi tetap dalam kondisi mantap. Yang tersisa sekarang bukanlah kebijakan pembangunan, melainkan politik berjuta alasan.
Kita terlalu sering mendengar kalimat klise: anggaran terbatas. Namun di sisi lain, pos belanja perjalanan dinas, kegiatan seremonial, dan proyek-proyek tanpa nilai ekonomi tetap subur. Ini menunjukkan bahwa masalah Jambi bukan soal kekurangan dana, melainkan kekurangan kemauan politik untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan birokrasi.
Perencanaan pembangunan tanpa keberanian fiskal hanyalah slogan kosong. Pemerintah seolah nyaman dengan stagnasi, sementara rakyat setiap hari bergelut di jalan berlubang, terantuk debu dan genangan air.
Rencana pemerintah menggandeng pihak swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) mungkin terdengar menjanjikan di atas kertas. Namun, sejarah mengajarkan: ketika pengawasan lemah, skema seperti itu sering kali berubah menjadi ladang rente. Pertanyaannya, siapa badan usaha yang akan dilibatkan? Bagaimana mekanisme pemilihannya? Di mana transparansinya? Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, proyek perbaikan jalan hanya akan menjadi panggung baru bagi politik beraroma bisnis.
Akibat dari semua ini, rakyatlah yang paling menanggung kerusakan. Setiap kilometer jalan yang berlubang berarti beban ekonomi baru bagi masyarakat kecil. Petani kehilangan hasil panen karena distribusi macet. Sopir truk dan ojek desa harus mengeluarkan uang tambahan untuk memperbaiki kendaraan yang rusak. Harga barang naik karena ongkos logistik meningkat. Semua itu terjadi bukan karena takdir, melainkan karena pemerintah gagal membangun jalan—namun berhasil membangun alasan.
DPRD dan Pemerintah Provinsi Jambi harus berhenti bersembunyi di balik alasan “terbatas”. Publikasikan data kondisi jalan provinsi secara terbuka. Libatkan akademisi, media, dan masyarakat sipil dalam menentukan prioritas pembangunan. Dan yang paling penting, lakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan anggaran infrastruktur tahun-tahun sebelumnya.
Kalau setiap tahun pemerintah hanya mampu memperbaiki 17 kilometer, lalu kapan rakyat bisa menikmati jalan yang benar-benar layak?
Kesimpulannya sederhana: ketika pemerintah menganggap 17 kilometer sudah cukup, sesungguhnya mereka sedang mengecilkan arti pembangunan itu sendiri. Jalan rusak bukan sekadar tanda kelalaian teknis ia adalah bukti nyata gagalnya keberpihakan. Dan selama kondisi ini terus dibiarkan, Provinsi Jambi akan terus melangkah tapi di jalan yang retak, berlubang, dan kehilangan arah.(**)
Discussion about this post