RENCANA pembangunan stockpile batu bara PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan padat permukiman Aur Kenali, Kota Jambi, telah menjadi duri dalam daging bagi warga sekitar. Meskipun pihak perusahaan bersikukuh bahwa seluruh aktivitasnya telah mengacu pada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta mengantongi persetujuan dari kementerian terkait, fakta di lapangan dan regulasi terbaru justru berkata sebaliknya. Walikota Jambi, sebagai pemangku kebijakan tertinggi di Kota Jambi, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk berdiri di garda terdepan membela warganya, dengan segera meninjau ulang, bahkan mencabut, izin-izin yang berpotensi merugikan masyarakat dan lingkungan.
Pernyataan PT SAS yang mengklaim memiliki Amdal dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Kementerian ATR/BPN patut dicermati secara kritis. Amdal adalah dokumen penting yang seharusnya memastikan kegiatan usaha tidak merusak lingkungan. Namun, bagaimana mungkin sebuah stockpile batu bara, yang secara inheren menghasilkan debu, kebisingan, dan potensi pencemaran air, bisa dinyatakan aman di tengah permukiman?
Secara teknis, lokasi stockpile batu bara membutuhkan zona industri berat atau pergudangan khusus dengan spesifikasi lingkungan yang sangat berbeda dari permukiman. Toleransi kebisingan, ambang batas emisi debu, sistem drainase limbah berbahaya, hingga zona penyangga yang luas, adalah aspek-aspek krusial yang mustahil terpenuhi di tengah keramaian warga. Sebuah analisis mendalam menyoroti bahwa operasional stockpile batu bara di dekat permukiman secara teknis sangat sulit, bahkan mustahil, untuk memenuhi baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah, seperti baku mutu udara ambien untuk PM2.5 dan PM10, baku mutu air limbah dari limpasan coal-water runoff, serta baku tingkat kebisingan. Studi kasus serupa di berbagai daerah telah menunjukkan dampak kesehatan masyarakat dan penurunan hasil pertanian akibat debu batu bara, dengan kualitas udara di sekitar stockpile seringkali melebihi ambang batas aman (Law Reform, 2021; Muslim, 2018; Wibowo, 2017).
Demikian pula dengan PKKPR dari Kementerian ATR/BPN. Meskipun izin ini memberikan landasan hukum pada saat diterbitkan, perubahan regulasi tata ruang yang fundamental telah membuatnya usang. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi 2024–2044, yang berlaku sejak 25 Mei 2024, secara eksplisit menetapkan Kelurahan Aur Kenali sebagai zona permukiman, Ruang Terbuka Hijau (RTH), pertanian, dan penyedia air baku. Tidak ada satu pun klasifikasi zona ini yang secara teknis atau legal kompatibel dengan kegiatan stockpile batu bara.
Prinsip hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori jelas berlaku di sini: aturan yang terbaru mengesampingkan aturan yang lama. Artinya, PKKPR yang mungkin diterbitkan sebelum Perda RTRW 2024-2044 ini secara hukum menjadi tidak relevan, batal demi hukum, atau kehilangan kekuatan berlakunya. Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jambi pun telah menegaskan bahwa stockpile PT SAS di Aurduri dan Penyengat Rendah (termasuk Aur Kenali) tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena wilayah tersebut kini masuk zona permukiman. Oleh karena itu, klaim PT SAS bahwa mereka telah mengantongi izin tidak serta merta melegitimasi kegiatan mereka saat ini. Perusahaan bahkan mengakui perlunya sosialisasi ulang karena adanya pergantian ketua RT, dengan menyatakan, “Beberapa hari sebelum aksi kami sudah bertemu warga, menjelaskan konsep pembangunan PT SAS. Karena ada pergantian Ketua RT, kami maklumi dan agendakan kembali sosialisasi agar masyarakat memahami secara menyeluruh.”
Dalam situasi ini, Pemerintah Kota Jambi, khususnya Walikota, memegang otoritas paling krusial. Bukan Pemerintah Pusat atau Provinsi, melainkan Pemerintah Kotalah yang memiliki kewenangan mutlak dalam mengatur pemanfaatan ruang di wilayahnya (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; PP Nomor 21 Tahun 2021). Walikota Jambi harus tegas dalam menegakkan Perda RTRW Nomor 5 Tahun 2024. Jika Perda ini melarang stockpile batu bara di Aur Kenali, maka tidak ada alasan bagi PT SAS untuk melanjutkan operasinya di sana.
Pemerintah Kota Jambi memiliki kewenangan untuk meninjau kembali dan bahkan mencabut izin yang sudah terbit jika terjadi perubahan peruntukan ruang atau jika kegiatan tersebut terbukti menimbulkan dampak negatif signifikan yang tidak dapat dikelola, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 86 dan 87 serta Undang-Undang Penataan Ruang. Walikota Jambi sendiri sebelumnya telah menegaskan konsistensinya dalam menjalankan amanat RTRW dengan menyatakan, “Kalau melanggar, tentu akan kita tindak.” Para ahli juga menekankan bahwa implementasi kawasan industri harus sesuai dengan RTRW dan RDTR, serta mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan pemerintah daerah harus bersikap tegas dalam perizinan (Sriyono, 2014; Tafrizi & Ramadhan, 2023). Jarak ideal minimal antara industri dan permukiman pun disarankan sekitar 2 kilometer untuk menghindari dampak polutan (Sriyono, 2014; Pramana, 2017).
Dampak stockpile batu bara terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sangatlah nyata dan tidak bisa ditoleransi. Emisi partikulat (PM2.5, PM10) yang berbahaya dari stockpile yang terpapar angin dan aktivitas bongkar muat akan melepaskan partikel debu halus. PM2.5 sangat berbahaya karena kemampuannya menembus alveoli paru-paru dan masuk ke aliran darah, memicu inflamasi sistemik dan risiko penyakit kardiovaskular. Selain itu, limpasan air beracun (coal-water runoff) akibat hujan yang mengalir melalui stockpile secara teknis akan membentuk limpasan yang membawa suspensi partikel batu bara, sedimen, dan melarutkan logam berat (misalnya, arsenik, timbal, merkuri, kadmium) yang terkandung di dalamnya. Kondisi ini sangat kritis mengingat Kelurahan Aur Kenali merupakan wilayah penyedia air baku bagi PDAM Kota Jambi, mengancam langsung pasokan air minum bersih bagi masyarakat. Walikota Jambi harus memastikan Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan pemantauan ketat dan mewajibkan PT SAS untuk melakukan remediasi lingkungan jika terbukti ada kerusakan.
Walikota harus memberikan batas waktu yang singkat dan tegas bagi PT SAS untuk menghentikan operasionalnya dan merelokasi stockpile ke lokasi yang sesuai zonanya. Jika tidak dipatuhi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Jambi harus melakukan pembongkaran paksa stockpile dan seluruh infrastruktur pendukungnya, dengan biaya yang wajib dibebankan sepenuhnya kepada pelanggar. Masyarakat Aur Kenali berhak hidup di lingkungan yang bersih, sehat, dan nyaman. Pemerintah Kota harus secara aktif menginformasikan kepada masyarakat Jambi mengenai langkah-langkah yang sedang dan akan diambil. Walikota Jambi harus menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat, bukan pada kepentingan korporasi yang merusak lingkungan dan melanggar tata ruang.
Momen ini adalah ujian kredibilitas bagi Pemerintah Kota Jambi. Konsistensi dalam menjalankan amanat RTRW, melindungi kesehatan warganya, dan mewujudkan kota yang berkelanjutan dan sehat, harus menjadi prioritas utama. Jangan biarkan investasi mengorbankan kualitas hidup warga dan masa depan lingkungan Kota Jambi. Walikota Jambi harus bertindak tegas: tinjau ulang izin, bela warga Aur Kenali, dan tegakkan hukum!(**)
Discussion about this post