Oleh: Isralasmadi, Tokoh Pemuda Jambi, Kandidat Doktor
PERTUMBUHAN ekonomi Jambi yang melambat tidak bisa semata-mata disalahkan pada perilaku konsumsi masyarakat yang kini semakin selektif. Istilah populer seperti “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) memang menggambarkan fenomena turunnya daya beli, namun sesungguhnya itu adalah gejala dari masalah yang lebih besar: melemahnya fundamental ekonomi daerah.
Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi yang dirilis pada 5 Agustus 2025 mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Jambi pada semester I tahun 2025 hanya mencapai 4,78 persen secara year-on-year (c-to-c). Angka ini tertinggal cukup jauh dibandingkan rata-rata nasional yang mencapai 5,12 persen. Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi para pengambil kebijakan di daerah.
Salah satu penyebab utama adalah lemahnya penyerapan anggaran oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). BPS mencatat dua sektor utama justru mengalami kontraksi, yaitu sektor administrasi pemerintahan yang turun 3,39 persen dan sektor konstruksi yang turun 1,40 persen. Ini menunjukkan bahwa anggaran yang sudah dialokasikan melalui APBD tidak mampu diserap dengan baik, yang berarti banyak program pembangunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, dalam konteks ekonomi daerah, belanja pemerintah adalah penggerak utama aktivitas ekonomi masyarakat.
Selain itu, arah kebijakan pemerintah daerah juga masih cenderung terjebak pada pembangunan fisik berskala besar yang tidak menjawab kebutuhan mendesak masyarakat. Program-program besar seperti proyek multiyears kerap menjadi sorotan publik karena tidak selesai tepat waktu, bermasalah secara hukum, atau minim manfaat langsung bagi masyarakat kecil. Sementara di sisi lain, sektor-sektor produktif yang menjadi penopang utama ekonomi justru kurang mendapat perhatian.
Struktur ekonomi Jambi masih bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang menyumbang 34,5 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) triwulan II-2025. Seharusnya, arah kebijakan anggaran diarahkan untuk memperkuat sektor-sektor ini. Begitu juga dengan UMKM dan program padat karya, yang terbukti mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menggerakkan ekonomi rakyat. Namun, selama ini dukungan yang diberikan belum signifikan dan cenderung formalitas belaka.
Masyarakat tidak membutuhkan simbol kehadiran negara dalam bentuk proyek-proyek mercusuar yang hanya memperkaya segelintir kontraktor. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan nyata melalui program yang menyentuh langsung kebutuhan ekonomi rakyat, seperti subsidi pertanian, pelatihan dan pembiayaan UMKM, serta penciptaan lapangan kerja berbasis potensi lokal.
Ekonomi Jambi tidak akan bangkit hanya dengan mengimbau masyarakat untuk belanja lebih banyak. Pemerintah daerah harus mulai dari diri sendiri: memperbaiki kinerja birokrasi, menyusun anggaran yang berpihak, dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.(***)
Discussion about this post