Oleh : Firmansyah, SH.MH, Lawyer
KAMIS Sore tanggal 8 Mei 2025, publik Jambi dikejutkan dengan insiden tabrakan antara kapal tongkang bermuatan batu bara dan salah satu bagian dari Jembatan Gentala Arasy jembatan ikonik yang membentang di atas Sungai Batanghari.
Insiden ini tak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tapi juga membuka kembali ruang diskusi yang selama ini mungkin terlupakan: apa sebenarnya fungsi dari jembatan tersebut, dan apakah ia dibangun dengan memperhitungkan keselamatan serta keberlangsungan lalu lintas air di bawahnya?
Secara filosofis dan teknis, jembatan adalah infrastruktur penghubung yang berfungsi untuk memperlancar mobilitas manusia dan barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dalam konteks hukum dan tata ruang, pembangunan jembatan tidak bisa dilepaskan dari aspek perizinan, perencanaan teknis, dan keselamatan transportasi, baik di darat maupun di air.
Berbagai regulasi sudah mengatur hal tersebut, antara lain: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang melarang setiap bentuk kegiatan yang dapat membahayakan atau mengganggu lalu lintas di jalan dan jembatan.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 20/PRT/M/2010 dan No. 5 Tahun 2023 yang menetapkan standar teknis keamanan jembatan serta prosedur perencanaan teknis jalan dan jembatan.
Salah satu poin krusial dari regulasi ini adalah kewajiban pemrakarsa proyek jembatan untuk memperoleh izin yang mempertimbangkan lalu lintas air yang ada, termasuk aspek tinggi minimum jembatan dari permukaan air, lebar antar tiang, serta navigasi kapal yang melintas.
Jika kita meninjau dari sisi manfaat, Jembatan Gentala Arasy memang memiliki nilai estetika dan budaya yang tinggi. Jembatan ini menjadi ikon kota Jambi, dan juga ruang publik yang menarik bagi wisatawan dan warga setempat. Namun dari segi fungsi transportasi, jembatan ini tidak bisa dilalui kendaraan. Dibangun dengan anggaran 88,7 miliar tapi hanya dijadikan icon untuk pejalan kaki.
Ia lebih berfungsi sebagai elemen penanda kota daripada sarana mobilitas antarwilayah.
Kini muncul pertanyaan: apakah sejak awal pembangunan, keberadaan jembatan ini sudah mengakomodasi keberadaan lalu lintas kapal tongkang di Sungai Batanghari? Apakah aspek perizinan dan navigasi air sudah dipertimbangkan dengan matang?
Jika ternyata tidak, maka insiden tabrakan ini bukan hanya soal kelalaian pihak pengemudi kapal, tetapi bisa jadi merupakan akibat dari desain atau lokasi jembatan yang tidak sesuai dengan fungsi sungai sebagai jalur utama distribusi barang—termasuk batubara yang menjadi komoditas vital Provinsi Jambi.
Dalam insiden seperti ini, sangat mudah untuk menunjuk kapal sebagai “pelaku” karena secara kasatmata ia yang menabrak. Namun sebagai praktisi hukum, saya berpendapat bahwa pendekatan yang harus digunakan bukan sekadar “siapa menabrak siapa”, melainkan apakah sarana yang ditabrak berada di lokasi dan dalam bentuk yang sesuai dengan fungsinya?
Sungai Batanghari telah lama menjadi jalur distribusi air yang vital bagi perekonomian Jambi. Maka, pembangunan jembatan di atasnya harus mempertimbangkan secara serius keberadaan dan hak lalu lintas air tersebut. Jika tidak, maka yang terjadi bukanlah pelanggaran oleh kapal, tetapi justru adanya potensi kelalaian dalam perencanaan dan pembangunan jembatan.
Insiden ini hendaknya menjadi titik tolak bagi Pemerintah Daerah, DPRD, dan penegak hukum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap, aspek teknis seperti tinggi jembatan, lebar tiang, dan ketinggian air maksimum Sungai Batanghari. Kemudian, prosedur navigasi dan pengawasan lalu lintas air di kawasan tersebut.
Evaluasi ini penting bukan untuk menyalahkan satu pihak semata, tetapi demi mencegah terulangnya kecelakaan serupa yang bisa merugikan berbagai sektor, termasuk transportasi, ekonomi, dan pariwisata.
Jembatan adalah simbol konektivitas, kemajuan, dan rekonsiliasi ruang. Ia dibangun untuk mempercepat gerak, bukan memperlambatnya. Namun apabila jembatan justru mengganggu sistem yang sudah lama berjalan—seperti lalu lintas air—maka jembatan itu telah gagal memahami perannya.
Maka pertanyaan yang patut diajukan hari ini bukan hanya: “Kenapa tongkang menabrak?”
Tetapi juga: “Apakah jembatan itu dibangun dengan pertimbangan yang cukup, dan apakah posisinya justru menghambat lalu lintas yang lebih dulu ada?”
Kita butuh keadilan, bukan hanya dalam bentuk hukum pidana, tetapi juga dalam tata kelola ruang dan pembangunan.(***)
Discussion about this post