GMSMEDIA.CO.ID – Kejaksaan Negeri (Kejari) Jambi terus mendalami dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Jambi City Center (JCC) yang hingga kini mangkrak. Dalam sepekan terakhir, tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) memeriksa sejumlah pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi terkait kerja sama dengan PT Jambi Bliss Properti Indonesia Tbk (PT Blis).
Terbaru, pada Jumat (16/5/2025), penyidik memeriksa Fahmi, mantan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), yang kini menjabat Asisten II Setda Kota Jambi.
“Iya, saya sudah dua kali dipanggil dan diperiksa penyidik Kejaksaan. Banyak pertanyaan yang diajukan, termasuk soal penandatanganan kerja sama antara Pemkot Jambi dan PT Blis,” ujar Fahmi saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (19/5/2025).
Fahmi membenarkan bahwa dirinya yang menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT Blis, bukan Wali Kota Jambi saat itu, Syarif Fasha. Ia menegaskan penandatanganan tersebut sesuai aturan, merujuk pada ketentuan Permendagri yang memperbolehkan pejabat setingkat kepala dinas menandatangani perjanjian atas seizin kepala daerah.
“Waktu itu Pak Wali menyampaikan secara lisan agar saya yang menandatangani. MoU memang ditandatangani beliau, tapi PKS cukup oleh saya saja,” jelasnya.
Menurut Fahmi, sejak awal skema kerja sama Build, Operate, Transfer (BOT) tersebut mendapat penolakan dari beberapa anggota DPRD Kota Jambi. Namun, proyek tetap berjalan dengan alasan tidak menggunakan dana APBD, tidak melibatkan pelepasan aset, dan tidak memerlukan persetujuan DPRD secara hukum.
Meski demikian, DPRD tetap menyoroti proyek ini karena berkaca pada pengalaman serupa pada 2008, saat rencana pembangunan Matahari Department Store di eks Terminal Simpang Kawat dibatalkan.
Fahmi juga menjelaskan bahwa pembangunan JCC sempat terganjal masalah teknis. PT Blis awalnya menggunakan metode hammer pile driver untuk pemasangan tiang pancang. Namun, metode ini ditolak Wali Kota karena dinilai menimbulkan getaran dan kebisingan di kawasan padat penduduk.
Penolakan itu kemudian memicu gugatan dari pemilik alat hammer pile ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Setelah itu, metode pembangunan diubah menggunakan sistem hidrolik yang lebih ramah lingkungan.
Meskipun groundbreaking dilakukan pada Maret 2016, proyek ini tidak menunjukkan kemajuan signifikan hingga tahun 2025. Salah satu penyebabnya adalah konflik antara PT Blis dan subkontraktor, yang akhirnya memicu penyusunan adendum kerja sama.
“Adendum pertama menetapkan ulang titik nol pembangunan pada 10 Maret 2016 dan memperpanjang masa konstruksi dua tahun,” ungkap Fahmi.
Ia juga mengklarifikasi soal pengajuan jaminan Hak Guna Bangunan (HGB) oleh PT Blis. Menurutnya, permintaan penjaminan HGB disampaikan ketika dirinya masih menjabat camat. Dokumen tersebut baru ia pelajari secara menyeluruh pada 2019 saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit proyek BOT itu.
Pengajuan HGB, lanjutnya, dilakukan melalui nota dinas kepada wali kota dan telah dikonsultasikan dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Saat itu, wali kota menyetujui dengan beberapa syarat.
Berdasarkan Permenko No. 17 Tahun 2007, PT Blis memang berhak mengajukan HGB di atas lahan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang hanya satu dan berlaku hingga tahun 2035. HGB itulah yang diagunkan PT Blis ke Bank Sinarmas.
Dalam kerja sama BOT tersebut, PT Blis berkomitmen menyetor kontribusi senilai Rp85 miliar hingga 2046. Namun, realisasinya terhenti. Dari tiga tahap pembayaran, hanya tahap pertama sebesar Rp7,5 miliar untuk periode 2016–2020 yang dibayarkan. Tahap kedua sebesar Rp25 miliar yang dijadwalkan pada 2021 tak kunjung dibayar, dan tahap ketiga sebesar Rp52,5 miliar diperkirakan gagal terealisasi.
Kini, bangunan megah di kawasan Payo Lebar, Kecamatan Jelutung, itu terbengkalai. Area tersebut hanya dimanfaatkan sebagai lokasi parkir dan tempat berjualan pedagang kaki lima.
Penyidikan Masih Berlanjut
Kasi Pidsus Kejari Jambi, Soemarsomo, menyatakan pihaknya masih terus mengumpulkan dokumen dan keterangan saksi guna mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek tersebut.
“Kami terus memproses perkara ini agar jelas dan terang. Belum ada tersangka yang ditetapkan, tapi penyidikan akan terus berlanjut,” ujarnya.
Proyek JCC yang awalnya digadang-gadang menjadi ikon ekonomi baru Kota Jambi, kini justru menjadi simbol gagalnya pengelolaan aset daerah.(***)
Discussion about this post