GMSMEDIA.CO.ID – Dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Jambi City Center (JCC) kembali mencuat. Proyek yang berada di atas lahan eks Terminal Simpang Kawat, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, dan dibangun dengan skema Build Operate Transfer (BOT), kini tengah diselidiki Kejaksaan Negeri (Kejari) Jambi.
Hasil penelusuran media ini mengungkap fakta baru. Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi dan PT Bliss Properti Indonesia (BPI) ditandatangani langsung oleh Wali Kota Jambi saat itu, Syarif Fasha. Bahkan, pada 22 Februari 2016, Fasha menandatangani surat persetujuan penggunaan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan JCC untuk diagunkan kepada pihak ketiga, padahal saat itu bangunan fisik mall belum mulai dibangun.
Surat persetujuan bernomor 034.1/151/BPMPPT-1/2016 itu ditujukan kepada Direktur Utama PT BPI sebagai respons atas permohonan yang diajukan pada hari yang sama. Dalam permohonannya, PT BPI meminta izin menjaminkan Sertifikat HGB Nomor 25 atas nama perusahaan kepada PT Bank Sinarmas sebagai syarat pengajuan kredit.
Dalam surat balasan yang ditandatangani Fasha, terdapat tiga poin utama. Pertama, persetujuan diberikan berdasarkan perjanjian kerja sama dengan PT BPI dan Keputusan Wali Kota Jambi Nomor 707 Tahun 2011 tentang pemanfaatan aset daerah dengan skema Bangun Guna Serah (BGS). Kedua, Pemkot menyetujui penggunaan SHGB Nomor 25 atas nama PT BPI sebagai jaminan, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian yang ada. Ketiga, PT BPI dilarang menjaminkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 01 Tahun 1999 atas nama Pemerintah Kota Madya Tingkat II Jambi.
Izin penggunaan HGB sebagai jaminan kredit ini diberikan dua tahun sebelum mall JCC rampung dibangun pada 2018. Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius: bagaimana mungkin jaminan kredit dapat diberikan atas aset fisik yang belum ada?
Dalam kerja sama BOT tersebut, PT BPI diwajibkan memberikan kontribusi keuangan kepada Pemkot Jambi sebesar Rp 85 miliar dalam tiga tahap. Tahap pertama (2016–2020) sebesar Rp 7,5 miliar telah disetorkan ke kas daerah. Namun, tahap kedua (2021–2030) senilai Rp 25 miliar gagal terealisasi karena mall tidak kunjung beroperasi. Tahap ketiga (2031–2046) yang direncanakan sebesar Rp 52,5 miliar pun terancam tidak dibayarkan akibat proyek yang mangkrak.
Situasi ini menimbulkan dugaan bahwa pemberian persetujuan agunan HGB sejak awal berpotensi merugikan keuangan daerah. Keputusan tersebut kini menjadi salah satu aspek penting dalam proses penyelidikan yang sedang berlangsung di Kejari Jambi. Hingga kini, belum ada tersangka yang diumumkan dalam perkara ini.
Menanggapi polemik ini, pakar hukum dan kebijakan publik, Firmansyah, SH, MH, mendesak Wali Kota Jambi saat ini, Maulana, untuk bertindak tegas terhadap PT BPI.
Bila pada saat itu Pembangunan belum selesai PT.BPI sudah anggunkan aset, sama artinya pihak swasta tak memiliki modal untuk membangun, ini tentu lari dari tujuan awal BOT itu sendiri.
“Wali Kota Jambi harus segera turun tangan. Berikan somasi, ajukan gugatan, dan laporkan ke polisi jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum yang merugikan keuangan daerah,” ujar Firmansyah, Selasa (28/5/2025).
Ia menegaskan, lambannya respons Pemkot bisa berakibat fatal, termasuk hilangnya aset milik daerah karena potensi gagal bayar kredit oleh pihak pengembang.
“Ini masalah serius. Jika dibiarkan, aset Pemkot bisa hilang begitu saja. Jangan sampai masyarakat menjadi korban akibat kelalaian atau pembiaran dari pemerintah,” tegasnya.(***)
Discussion about this post