GMSMEDIA.CO.ID-Gubernur Jambi Al Haris mulai menindaklanjuti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 14 Tahun 2025 dengan menggelar rapat bersama sejumlah pihak terkait untuk menginventarisasi sumur-sumur minyak masyarakat yang tersebar di berbagai daerah di Provinsi Jambi.
Rapat yang berlangsung di VIP Room Bandara Sultan Thaha Saifuddin, Senin (7/7/2025), dihadiri oleh Danrem 042 Garuda Putih Brigjen TNI Heri Purwanto, Kepala Roops Polda Jambi Kombes Pol M. Edi Faryadi, perwakilan Pertamina, SKK Migas, serta sejumlah kepala daerah dari tiga kabupaten: Batang Hari, Muaro Jambi, dan Sarolangun.
Dalam pemaparannya, Gubernur mengungkapkan bahwa Jambi saat ini memiliki lebih dari 15.000 sumur minyak, dengan 5.600 di antaranya terindikasi sebagai sumur ilegal. Aktivitas pengeboran liar ini marak terjadi di kawasan yang tidak masuk dalam wilayah kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sehingga tidak tercatat dalam sistem resmi negara.
“Praktik penambangan ilegal ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga membahayakan keselamatan warga dan mencemari lingkungan. Limbah minyak, potensi kebakaran, serta kerusakan ekosistem adalah ancaman nyata,” tegas Al Haris.
Namun yang menarik, alih-alih menutup total aktivitas ilegal tersebut, Pemerintah Provinsi Jambi justru membuka peluang legalisasi. Melalui regulasi baru, sumur-sumur itu akan dapat dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, atau pelaku UMKM yang ditunjuk pemerintah kabupaten/kota.
Langkah ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah ini bentuk keberpihakan terhadap masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari pengeboran minyak? Ataukah justru cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam menertibkan praktik ilegal yang telah berlangsung lama?
Dalam skema yang ditawarkan, maksimal akan ditunjuk tiga pengelola resmi per kabupaten/kota: satu BUMD, satu koperasi, dan satu UMKM. Inventarisasi dan usulan pengelola harus diserahkan ke Dinas ESDM Provinsi Jambi paling lambat 14 Juli 2025.
Lokasi pengeboran ilegal yang diidentifikasi antara lain tersebar di Desa Pompa Air, Bungku, Jebak, Bulian Baru (Kabupaten Batang Hari); Unit 7, Unit 20, Unit 21, Trijaya, dan Ujung Tanjung (Kabupaten Muaro Jambi); serta kawasan KM 51 dan Desa Lubuk Napal (Kabupaten Sarolangun).
Kebijakan ini berpotensi menjadi preseden penting di tingkat nasional. Jika berhasil, Jambi bisa menjadi contoh legalisasi pengeboran rakyat. Namun jika gagal, ini bisa menjadi celah baru bagi pembiaran tambang ilegal yang dibungkus regulasi.
Publik kini menanti, apakah inventarisasi ini akan berujung pada perlindungan lingkungan dan masyarakat, atau sekadar menjadi legitimasi baru bagi eksploitasi energi tanpa akuntabilitas.(***)
Discussion about this post