Oleh: Firmansyah,SH.MH
PEMERINTAH Provinsi Jambi dinilai tidak transparan dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% sektor minyak dan gas bumi (migas).
Kekecewaan yang disuarakan langsung oleh Bupati Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar).
Bupati Anwar Sadat merasa daerahnya tidak dilibatkan secara proporsional dalam pembahasan maupun pembagian dana hasil kerja sama (PI) 10% PetroChina.
Ini mencerminkan kegelisahan daerah penghasil migas yang merasa dipinggirkan dalam kebijakan strategis oleh Gubernur Jambi.Yang membuat Bupati merasa kurang percaya terhadap Gubernur Jambi akan sejauh mana penyelesaian PI 10 persen itu.
Pembahasan oleh pihak legislatif di tingkat provinsi Jambi berlangsung tanpa ruang bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan masukan, dan Anggota DPRD Provinsi Jambi dari Dapil penghasil migas ini pun tak terdengar bersuara dan bersinegi dengan Pimpinan Daerah terkait PI 10% ini.
Sebagaimana diatur dalam regulasi Kementerian ESDM, PI 10% merupakan hak yang harus ditawarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dalam hal ini PetroChina, kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah kerja migas.
Tujuannya jelas, agar daerah penghasil migas bisa mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan eksplorasi dan produksi, baik secara finansial maupun dari sisi alih teknologi.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari semangat regulasi tersebut.
Pemprov Jambi, di bawah kepemimpinan Gubernur Al Haris, disebut tidak membuka ruang dialog yang memadai kepada pemerintah kabupaten.
Terlebih, tidak ada kejelasan mengenai berapa sebenarnya porsi yang diterima Tanjabbar dari pengelolaan PI 10% ini.
Wajar jika akhirnya Bupati Tanjabbar mendesak agar DPR RI dan Kementerian ESDM turun tangan menyelesaikan persoalan ini.
Ketertutupan informasi, apalagi menyangkut dana publik, adalah benih dari krisis kepercayaan dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum apabila terbukti terjadi penyalahgunaan.
Perlu dipahami bahwa PI 10% bukan sekadar dana bagi hasil. Dana ini adalah hasil dari keikutsertaan daerah, melalui BUMD, dalam pengelolaan wilayah kerja migas. Maka, transparansi dalam penggunaannya adalah syarat mutlak. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi celah bancakan elite tertentu.
Pemerintah provinsi selayaknya bersikap sebagai jembatan, bukan penghalang, bagi daerah dalam menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.
Jika seorang gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, maka sudah seharusnya Gubernur Al Haris merespons keprihatinan Bupati Anwar Sadat dengan serius dan terbuka.
Ketertutupan bukan hanya menutup kepercayaan, tapi juga membuka jalan bagi dugaan-dugaan pelanggaran hukum.
Maka, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan PI 10% adalah harga mati.
Dan Pemda Perovinsi Jambi harus mulai berani membuka data, melibatkan daerah, serta menjalankan tata kelola yang berpihak pada kepentingan rakyat.(***)
Discussion about this post