Oleh: Nazli, (Anak Dusun)
KEBIJAKAN jam malam bagi anak dan remaja yang diberlakukan Wali Kota Jambi, dr. Maulana, tampak seperti langkah tegas dan solutif di tengah maraknya kenakalan remaja dan geng motor. Namun, di balik niat baik itu, terselip kekeliruan mendasar: pemerintah kembali memilih jalan pintas ketertiban ketimbang membenahi akar persoalan sosial yang sesungguhnya.
Fenomena geng motor dan perilaku remaja yang menyimpang bukanlah sekadar masalah jam malam. Ia adalah cermin dari ketimpangan perhatian negara terhadap generasi mudanya. Di Jambi, ruang publik bagi remaja nyaris tak ada. Lapangan olahraga terbatas, taman kota minim perawatan, dan wadah ekspresi pemuda tak lagi menjadi prioritas kebijakan. Ketika ruang tumbuh itu absen, jalanan pun berubah menjadi arena ekspresi.
Lalu, ketika ekspresi itu meluber dalam bentuk kekerasan atau kenakalan, negara merespons dengan larangan. Jam malam diberlakukan seolah semua masalah bisa dirapikan dengan patroli dan peraturan. Padahal, akar luka sosial itu justru tumbuh di siang hari—saat anak muda kehilangan ruang, kehilangan arah, dan kehilangan tempat untuk merasa dihargai.
Pasal 28C UUD 1945 menegaskan hak setiap warga negara untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan fasilitas yang layak. Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan remaja mendapat ruang aman dan sehat untuk tumbuh. Kebijakan yang reaktif seperti jam malam justru memperlihatkan lemahnya visi pembangunan manusia, karena ia bergerak setelah masalah membesar, bukan mencegah sejak dini.
Jam malam mungkin membuat kota tampak lebih tenang, tetapi ketenangan semu itu tidak berarti masalah selesai. Ia hanya menutup luka tanpa mengobatinya. Remaja tetap kehilangan arah, dan masyarakat tetap hidup dalam ketakutan terhadap potensi kekerasan berikutnya.
Yang dibutuhkan bukan sekadar pembatasan, melainkan pembinaan. Bukan pengawasan, melainkan pemberdayaan. Pemerintah seharusnya mengalokasikan sumber daya untuk membangun pusat kegiatan pemuda (youth center), mendukung komunitas kreatif, membuka pelatihan keterampilan, dan mendorong wirausaha muda. Di situlah energi anak muda bisa diarahkan menjadi kekuatan produktif, bukan destruktif.
Kebijakan yang baik bukan yang membuat rakyat diam, melainkan yang membuat mereka berkembang. Jika anak muda terus kehilangan ruang untuk berkarya, jalanan akan tetap menjadi panggung mereka. Dan bila pemerintah terus menutup mata dengan kebijakan semu seperti jam malam, maka yang gelap bukan hanya malamnya—tetapi juga masa depan kotanya.
Karena sesungguhnya, ketika pemerintah memilih untuk mengurung, bukan membina, maka yang tersesat bukan remajanya. Yang tersesat adalah para pemimpinnya.(**)
Discussion about this post