KONFLIK akibat sengketa sumber daya alam di Desa Lubuk Mandarsyah, Jambi, yang melibatkan PT. Wirakarya Sakti (WKS), anak perusahaan APP Sinar Mas, kembali menjadi sorotan publik. Berita terbaru pada 24 Juni 2025 menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih berjuang menghadapi intimidasi, penggusuran lahan, dan pengabaian hak-hak mereka. Situasi ini menjadi ironis karena operasi perusahaan tetap berjalan lancar di tengah ketegangan yang belum mereda, seolah konflik sosial hanyalah gangguan kecil yang tak berarti.
Keadaan di Lubuk Mandarsyah ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang nyata antara korporasi besar dan masyarakat lokal, sebuah isu yang telah lama menjadi perhatian akademisi dan aktivis. Konflik agraria seperti yang terjadi di sana, seringkali berakar pada perebutan sumber daya alam dan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak tradisional masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Li (2014). Masyarakat adat dan lokal, yang bergantung pada hutan dan lahan untuk kelangsungan hidup mereka, sering kali menjadi korban pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan ekonomi.
Jaringan organisasi masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi, dengan tegas menolak proses Forest Stewardship Council (FSC) Remedy Framework yang akan dijalankan oleh APP Sinar Mas. Mereka mendesak FSC untuk tidak memproses pengajuan tersebut sebelum seluruh persoalan dan pelanggaran di wilayah konsesi PT. WKS diselesaikan secara adil. Desakan ini bukan sekadar protes, melainkan penegasan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan yang seharusnya menjadi pijakan bagi setiap entitas bisnis dan lembaga sertifikasi.
Sebagai organisasi internasional yang mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, FSC memiliki kebijakan dan prinsip yang jelas, termasuk Policy for Association (PfA) yang melarang keras pelanggaran hak-hak tradisional dan hak asasi manusia dalam sektor kehutanan. Namun, kasus Lubuk Mandarsyah mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap dua prinsip utama FSC: pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal dan adat secara terbuka, setara, dan adil, serta penyelesaian konflik secara bertanggung jawab tanpa kekerasan.
Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam konteks konsesi lahan telah banyak didokumentasikan. Scott (1976), dalam karyanya “The Moral Economy of the Peasant”, menyoroti bagaimana masyarakat petani seringkali memiliki “ekonomi moral” yang menuntut jaminan hidup dasar dan menentang segala bentuk eksploitasi yang mengancam mata pencarian mereka. Dalam konteks Lubuk Mandarsyah, penggusuran lahan dan kebun oleh PT. WKS secara langsung mengancam ekonomi moral dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Lebih lanjut, absennya penyelesaian konflik yang adil dan tanpa kekerasan merupakan indikator kegagalan sistemik. Collier (2007) dalam “The Bottom Billion” menjelaskan bahwa konflik sumber daya alam seringkali diperparah oleh tata kelola yang buruk dan lemahnya penegakan hukum, yang pada akhirnya merugikan kelompok-kelompok rentan. Laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia juga sering mencatat tingginya kasus pelanggaran HAM terkait konflik agraria, di mana masyarakat adat dan lokal menjadi pihak yang paling rentan (Komnas HAM, 2023). Jika FSC tetap melanjutkan proses Remedy Framework tanpa memastikan penyelesaian konflik yang komprehensif, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai legitimasi terhadap praktik-praktik yang mengabaikan hak-hak masyarakat, yang pada akhirnya akan merusak kredibilitas FSC sendiri sebagai lembaga sertifikasi yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Konflik agraria di Lubuk Mandarsyah bukan hanya masalah implementasi kebijakan perusahaan, tetapi juga menyoroti kelemahan dan tumpang tindih regulasi di Indonesia. Terdapat beberapa kerangka hukum yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, namun implementasinya seringkali menemui hambatan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sejatinya mengamanatkan reforma agraria dan pengakuan hak-hak masyarakat atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun prinsip ini seringkali diabaikan dalam pemberian konsesi skala besar. Konflik muncul ketika Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal yang telah mengelola tanah secara turun-temurun, tanpa adanya penyelesaian yang adil dan transparan.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebelum revisi) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang seringkali menjadi landasan hukum bagi pemberian izin pemanfaatan hutan kepada korporasi. Namun, penerapannya kerap kali mengabaikan aspek pengakuan hutan adat dan wilayah kelola masyarakat. Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya, dikritik karena dianggap semakin melemahkan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat dalam konteks perizinan usaha.
Ada pula Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 tentang Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Permen LHK ini seharusnya menjadi panduan dalam mengidentifikasi dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat, termasuk wilayah adat mereka, namun proses identifikasi dan penetapan ini masih sangat lambat dan terkendala, menyebabkan banyak wilayah adat rentan terhadap klaim konsesi perusahaan.
Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang menggarisbawahi pentingnya Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC). Prinsip ini mewajibkan perusahaan dan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat dan lokal sebelum memulai proyek yang memengaruhi tanah dan sumber daya mereka; kegagalan menerapkan FPIC secara benar adalah akar masalah dari banyak konflik agraria. Terakhir, laporan Komnas HAM secara konsisten menunjukkan bahwa konflik agraria adalah salah satu sumber utama pelanggaran HAM di Indonesia. Komnas HAM memiliki mandat untuk memantau, menyelidiki, dan memberikan rekomendasi terkait pelanggaran HAM, termasuk dalam sengketa tanah, namun rekomendasi ini seringkali tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memerlukan komitmen politik dari pemerintah untuk diimplementasikan.
Penyelesaian konflik agraria seperti di Lubuk Mandarsyah memerlukan pendekatan multi-pihak yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada mekanisme formal. Salah satu alternatif adalah melalui Mediasi dan Negosiasi Partisipatif dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan diakui kredibilitasnya oleh semua pihak (misalnya, akademisi, tokoh masyarakat yang dihormati, atau lembaga non-pemerintah) untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat dan perusahaan. Proses ini dapat menggunakan negosiasi berbasis kepentingan, fokus pada kepentingan dasar masing-masing pihak daripada hanya pada posisi mereka, seperti keberlanjutan mata pencarian masyarakat dan stabilitas operasional perusahaan. Selain itu, pengakuan dan pemetaan partisipatif atas wilayah adat dan wilayah kelola masyarakat secara bersama-sama dapat membantu mendefinisikan batas-batas yang jelas dan mendapatkan pengakuan resmi atas hak-hak masyarakat, mengurangi potensi tumpang tindih klaim.
Alternatif lainnya adalah dengan membentuk Mekanisme Pengaduan dan Ganti Rugi yang Efektif. Perusahaan harus memiliki sistem pengaduan internal yang mudah diakses, transparan, dan akuntabel bagi masyarakat terdampak, yang memastikan keluhan ditangani dengan cepat dan adil. Ganti rugi tidak hanya berupa kompensasi finansial, tetapi juga harus mencakup pemulihan hak-hak, akses terhadap sumber daya, dan pemulihan mata pencarian yang hilang, dengan penilaian independen terhadap kerugian yang diderita masyarakat. Dalam hal ini, FSC harus menegaskan perannya tidak hanya sebagai pengaudit, tetapi juga sebagai penjamin keadilan agraria, memastikan bahwa proses “Remedy Framework” benar-benar menyelesaikan akar masalah, bukan hanya “membersihkan citra,” serta menerapkan sanksi tegas, termasuk pencabutan sertifikasi, jika perusahaan tidak memenuhi standar.
Selanjutnya, Penguatan Kapasitas Masyarakat dan Organisasi Sipil sangat penting. Masyarakat perlu didukung untuk memahami hak-hak mereka di bawah hukum nasional dan internasional, di mana organisasi masyarakat sipil dapat berperan dalam memberikan pendampingan hukum dan pendidikan tentang hak-hak agraria. Penguatan jaringan dan aliansi juga akan mengkonsolidasikan gerakan masyarakat dan organisasi sipil untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam advokasi dan negosiasi.
Terakhir, diperlukan Kebijakan Reforma Agraria yang Progresif. Pembentukan bank tanah nasional yang dikelola negara dapat membantu menata kembali penguasaan dan pemanfaatan tanah, serta mendistribusikan tanah kepada masyarakat yang membutuhkan secara adil. Moratorium izin konsesi baru dapat dilakukan untuk memungkinkan pemerintah meninjau ulang izin-izin yang ada, memetakan kembali wilayah konflik, dan menyelesaikan sengketa yang belum tuntas. Serta, percepatan pengakuan dan penetapan hutan adat sebagai bagian dari wilayah kelola masyarakat akan memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi mereka.
Secara keseluruhan, untuk memastikan keadilan bagi masyarakat Lubuk Mandarsyah dan menegakkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang sejati, beberapa langkah konkret harus diambil. Pertama, FSC harus menunda atau menghentikan sepenuhnya proses Remedy Framework hingga semua pelanggaran hak-hak masyarakat diselesaikan secara adil dan komprehensif, memastikan tidak ada lagi intimidasi, penggusuran lahan, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat dan lokal, mengingat kasus serupa di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang tergesa-gesa tanpa memperhatikan akar masalah hanya akan menunda konflik baru (Schlosberg, 2007). Kedua, perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang dialami masyarakat, termasuk ganti rugi yang adil dan pemulihan mata pencarian, sejalan dengan konsep tanggung jawab sosial korporasi (Carroll, 1991) yang menekankan perlunya perusahaan untuk tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga beroperasi secara etis dan berkontribusi positif bagi masyarakat; prinsip “free, prior, and informed consent” (FPIC) yang diakui secara internasional juga harus diterapkan secara ketat dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan lahan dan sumber daya masyarakat adat (UN, 2007). Ketiga, pemerintah harus mengambil peran proaktif dalam memediasi konflik, memastikan penegakan hukum yang adil, dan melindungi hak-hak masyarakat, termasuk meninjau ulang konsesi lahan dan memastikan bahwa proses perizinan dilakukan dengan partisipasi penuh dari masyarakat lokal; revisi Undang-Undang Pokok Agraria dan pembentukan bank tanah dapat menjadi langkah strategis untuk menata kembali tata kelola agraria yang lebih berpihak pada rakyat (Safitri, 2011). Keempat, mekanisme penyelesaian konflik yang independen dan partisipatif harus dibentuk, di mana suara dan perspektif masyarakat didengarkan dan dipertimbangkan secara setara, penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan mencegah konflik serupa di masa depan. Terakhir, seluruh pemangku kepentingan, termasuk lembaga sertifikasi, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, harus bekerja sama untuk membangun sistem tata kelola hutan yang lebih adil dan transparan, yang menghormati hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Kasus Lubuk Mandarsyah adalah pengingat penting bahwa proses perbaikan tanpa penyelesaian masalah yang fundamental hanya akan menjadi kosmetik. FSC harus membuktikan kredibilitasnya sebagai lembaga sertifikasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsipnya, bukan sekadar fasilitator bagi perusahaan untuk membersihkan citra mereka. Keadilan bagi masyarakat Lubuk Mandarsyah adalah keadilan bagi kita semua, dan pembelaan hak-hak mereka adalah fondasi bagi pembangunan yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan.(***)
Discussion about this post