Oleh: Dr. Noviardi Ferzi, Pemerhati Kebijakan Publik
BICARA soal defisit APBD Provinsi Jambi, cukup keliru jika dilihat sebagai gejala dari beban belanja berlebih, ketergantungan pada dana transfer pusat, dan lemahnya kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembacaan yang terlalu hitam-putih terhadap defisit APBD dapat menyesatkan arah kebijakan fiskal daerah. Karena, ada konteks regulasi, desain sistem keuangan negara, hingga realitas politik anggaran yang tak diungkap secara proporsional.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) memungkinkan defisit sepanjang dibiayai dari sumber sah seperti Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), pinjaman daerah, atau penerbitan obligasi. Lebih dari itu, defisit yang diarahkan untuk belanja modal produktif—seperti infrastruktur, irigasi, dan sarana publik—justru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas basis pajak di masa depan. Menggeneralisasi defisit sebagai kegagalan manajemen keuangan daerah berarti mengabaikan logika fiscal stimulus yang diakui secara global.
Kerangka besar hubungan fiskal nasional sering kali bias dalam analisis. Konstitusi dan UU HKPD menetapkan bahwa sebagian besar penerimaan strategis—seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan penerimaan sumber daya alam—dipungut pusat dan kemudian dibagihasilkan ke daerah. Dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor primer, Jambi secara struktural akan tetap mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Ketergantungan ini bukan kelemahan, tetapi konsekuensi logis dari desain negara kesatuan dengan desentralisasi parsial.
Potensi PAD tidak lahir di ruang hampa, melainkan mengikuti struktur ekonomi daerah. Jika Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih bertumpu pada pertanian dan perkebunan yang memiliki basis pajak rendah, maka ruang fiskal untuk menaikkan PAD akan terbatas. Sekadar menaikkan tarif pajak atau retribusi tanpa memperluas basis ekonomi berisiko menekan pelaku usaha dan mengurangi daya saing daerah. Terlebih, banyak objek pajak potensial berada di kewenangan kabupaten/kota, bukan provinsi, sehingga kemampuan fiskal provinsi secara hukum memang terbatas.
Menyebut pariwisata, sawit, tambang, dan UMKM sebagai “sumber PAD” provinsi perlu hati-hati. Banyak pungutan di sektor itu merupakan kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah kabupaten/kota. Provinsi hanya mengelola jenis pajak tertentu seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Artinya, meskipun sektor unggulan tumbuh, dampak langsung terhadap PAD provinsi tetap terbatas tanpa revisi regulasi pembagian kewenangan fiskal.
Rekomendasi seperti zero-based budgeting atau reformasi BUMD memang ideal di atas kertas. Namun, praktik anggaran daerah kerap dikendalikan oleh logika politik di DPRD, yang cenderung mempertahankan incremental budgeting. BUMD pun sering terjebak masalah modal, tata kelola, dan intervensi politik sehingga target dividen signifikan jarang tercapai. Optimalisasi aset idle juga memerlukan sinkronisasi hukum pertanahan yang prosesnya tidak singkat. Tanpa memahami hambatan politik dan hukum ini, solusi akan berhenti di level normatif.
Di luar masalah struktural di atas, pembicaraan mengenai defisit APBD juga perlu menyentuh aspek alokasi belanja. Sering kali, belanja prioritas tidak didasarkan pada skala urgensi dan efektivitas untuk memacu pertumbuhan, melainkan pada komitmen politik jangka pendek atau bahkan ego sektoral. Belanja daerah terkadang lebih didominasi oleh belanja rutin yang tidak produktif, seperti belanja pegawai yang membengkak, atau alokasi untuk program-program seremonial dan proyek mercusuar yang tidak memiliki multiplier effect signifikan terhadap perekonomian lokal. Kesalahan dalam prioritas ini menciptakan defisit yang tidak produktif karena tidak menghasilkan aset strategis atau memperluas basis ekonomi. Analisis mendalam menunjukkan bahwa alokasi belanja yang timpang, di mana belanja modal untuk infrastruktur dasar seperti jalan, irigasi, dan sanitasi justru minim, dapat menghambat daya saing daerah. Menurut Halim (2021) dalam Manajemen Keuangan Daerah, kesalahan alokasi belanja menjadi salah satu penyebab utama defisit yang tidak sehat, karena defisit yang terjadi tidak sebanding dengan manfaat ekonomi yang dihasilkan. Seharusnya, defisit yang diambil diimbangi dengan investasi pada sektor-sektor yang dapat mendorong produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Defisit APBD bukan semata soal hitung-menghitung pendapatan dan belanja, tetapi refleksi dari desain fiskal nasional, struktur ekonomi daerah, dan dinamika politik lokal. Untuk keluar dari jebakan defisit yang tidak produktif, dibutuhkan reformulasi hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih adil, strategi pertumbuhan ekonomi daerah yang memperluas basis pajak, serta keberanian mengambil defisit produktif yang terukur, didasari pemahaman menyeluruh agar solusi yang ditawarkan bukan sekadar slogan, melainkan dapat diimplementasikan demi kemajuan daerah. Karena, keliru membaca akar, akan membuat APBD Provinsi Jambi malfungsi. (**)
Discussion about this post