Oleh: Firmansyah,SH.MH
GUBERNUR Jambi Al Haris kembali “mengemis” ke pusat. Dalam rapat bersama Kementerian PUPR di Jakarta baru-baru ini, ia meminta pembangunan jembatan layang di Kota Jambi menggunakan dana APBN.
Ini bukan kali pertama, pola lama yang terus berulang, ketergantungan pada dana pusat, nyaris tanpa inovasi pembiayaan pembangunan daerah.
Padahal, solusi bisa datang dari dalam.
Banyak provinsi lain telah membuktikan bahwa membangun tidak selalu butuh dana negara. Gubernur DKI Jakarta misalnya, pernah membangun proyek prestisius seperti Simpang Susun Semanggi hanya dengan memanfaatkan dana CSR perusahaan swasta, tanpa menyentuh APBD atau APBN sepeser pun. Pertanyaannya, mengapa Jambi tidak bisa? Atau tidak mau?
Sumber Dana CSR yang Hilang Entah ke Mana
Corporate Social Responsibility (CSR) bukan sekadar formalitas dalam laporan tahunan perusahaan.
Dalam banyak kasus, CSR adalah “tambang emas” yang bisa didayagunakan untuk pembangunan sosial, ekonomi, hingga infrastruktur.
Undang-undang sudah jelas mengatur itu, UU PT Nomor 40 Tahun 2007 dan PP Nomor 47 Tahun 2012 mewajibkan perusahaan, terutama yang bergerak di bidang sumber daya alam, untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).
Namun di Jambi, dana CSR ini seolah menguap tanpa bekas. Data tahun 2023 menunjukkan betapa memalukannya kinerja pengelolaan CSR di provinsi ini, dari target Rp3,9 miliar dana CSR dari perusahaan tambang batubara, yang terkumpul hanya Rp2,2 miliar.
Ini bukan sekadar “tidak optimal”, ini kegagalan struktural yang sistemik di masa kememimpinan Gubernur Al Haris.
Tentu ini Menyedihkan dan memicu amarah masyarakat Jambi, dampak kerusakan jalan umum dan kemacetan oleh angkutan batubara ini tak sebanding dengan CSR perusahaan batubara.
Yang lebih menyakitkan, hingga pertengahan 2025, tidak ada satu pun laporan resmi dari Pemprov Jambi mengenai total dana CSR yang masuk tahun ini, dan bagaimana penggunaannya. Ketertutupan ini membuka ruang besar bagi penyelewengan, manipulasi, dan permainan busuk antara perusahaan dan oknum-oknum di pemerintahan.
Diamnya Pemerintah Adalah Skandal.
Padahal, Jambi memiliki landasan hukum yang cukup untuk menertibkan dana CSR, Perda Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, dan Perda Kota Jambi Nomor 1 Tahun 2016. Tapi dua regulasi ini hanya menjadi pajangan. Tidak ada upaya serius dari Gubernur, DPRD, maupun kepala daerah lainnya untuk menegakkannya secara konsisten.
Bahkan revisi Perda CSR yang masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2023 nyaris tak terdengar kabarnya. Publik dibiarkan tidak tahu-menahu. Media pun tidak pernah diberi akses penuh untuk mengawasi perjalanannya. Ini bukan hanya kelalaian, tapi pengabaian total terhadap amanat pembangunan berkeadilan.
Kemana Dana CSR Sebenarnya Pergi?
Dana CSR yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas publik, seperti ruang terbuka hijau, fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga jembatan layang yang kini diminta ke pusat malah tidak jelas juntrungannya. Jangan-jangan, dana itu sudah masuk kantong-kantong gelap, atau digunakan untuk proyek siluman yang tidak pernah sampai ke rakyat.
Penyalahgunaan dana CSR bukan perkara sepele. Bisa dijerat dengan Pasal 372 dan 374 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara hingga 4 tahun. Tapi sampai hari ini, belum ada satu pun kasus penggelapan dana CSR di Jambi yang diungkap atau diproses secara hukum.
Apakah aparat penegak hukum hanya tutup mata ?
Butuh Ketegasan, Bukan Retorika
Sudah saatnya publik menuntut transparansi penuh, berapa total dana CSR yang diterima tiap tahun, siapa saja perusahaan yang menyetor, siapa yang tidak, dan untuk apa saja dana itu digunakan. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin membangun Jambi, gunakan dana CSR sebagai alat kedaulatan fiskal daerah.
Gubernur jangan hanya datang ke Jakarta, menengadah berharap belas kasihan pusat.
Perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan besar yang mengeruk kekayaan Jambi harus diingatkan, mereka punya utang sosial pada masyarakat.
Mereka wajib membayar kembali dalam bentuk kontribusi nyata, bukan seminar, baliho, atau simbol palsu kepedulian sosial.
Jika Pemprov Jambi tidak bisa menertibkan pengelolaan CSR, maka rakyat berhak curiga, apakah dana CSR memang tidak ada, atau memang sengaja disembunyikan?
Transparansi bukan pilihan. Ia adalah harga mati dalam demokrasi. Dan jika pemerintah daerah tidak mampu mewujudkannya, maka publik harus mulai bicara lebih keras atau turun langsung mengawasi.(***)
Discussion about this post