BARU-baru ini, seorang pengamat mengkritik Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi karena dianggap tidak serius dalam penanggulangan banjir. Kritik tersebut didasarkan pada kecilnya anggaran yang dialokasikan Pemkot Jambi dalam APBD, yakni sekitar Rp2 miliar.
Pengamat ini menilai jumlah tersebut tidak mencerminkan keseriusan Wali Kota Maulana, apalagi jika dibandingkan dengan besarnya potensi bantuan dari Balai Sungai sebesar Rp120 miliar dan pemerintah provinsi sebesar Rp50 miliar.
Lebih jauh, pengamat ini menyebut bahwa langkah-langkah yang diambil wali kota lebih bersifat pencitraan semata. Ia bahkan mengingatkan agar Maulana tidak meremehkan kecerdasan masyarakat dengan menyuguhkan video atau berita yang minim urgensi.
Namun, sebelum publik terjebak dalam kesimpulan yang simplistis, perlu diluruskan sejumlah hal penting terkait alokasi anggaran penanggulangan banjir. Pertama, kita perlu membedakan antara anggaran bencana dan anggaran pembangunan yang berdampak pada pencegahan bencana.
Sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) dan (2), pemerintah daerah memang wajib mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana dalam APBD secara memadai. Anggaran ini mencakup tiga fase: pra-bencana (pencegahan dan mitigasi), saat tanggap darurat, serta pasca-bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) pun memberi pedoman yang serupa dalam penyusunan APBD. Dalam praktiknya, banyak daerah memang mengalokasikan anggaran besar untuk penanggulangan banjir, seperti Jakarta atau Kota Bontang, yang bahkan mencadangkan hingga 10% dari total APBD untuk urusan ini.
Namun demikian, penting juga dipahami bahwa penanggulangan banjir adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Anggaran bisa berasal dari APBD, APBN, hingga bantuan sosial pemerintah. Artinya, kecilnya alokasi di APBD kota bukan serta-merta cerminan dari ketidaksiapan, terlebih jika anggaran dari pusat sudah mencakup sebagian besar kebutuhan teknis penanganan.
Selain itu, ada proyek-proyek pembangunan yang berkontribusi langsung terhadap pencegahan banjir, seperti pembuatan dan normalisasi drainase, penguatan tanggul, atau pelebaran saluran air. Meski tidak dikategorikan langsung sebagai “anggaran bencana”, proyek semacam ini tetap strategis dalam mitigasi banjir.
Dalam konteks inilah, kritik semestinya tidak hanya berhenti pada penilaian jumlah anggaran, melainkan juga mempertimbangkan bentuk intervensi dan dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Kritik yang membangun adalah kritik yang tidak hanya menyoroti kekurangan, tetapi juga memberi saran dan membuka ruang dialog solutif.
Kita tentu menghargai setiap masukan, terutama dari kalangan akademisi dan pengamat, karena itu bagian dari kontrol sosial. Namun, mari sama-sama bijak membaca data, regulasi, dan konteks, agar tidak terjebak pada narasi yang justru mempersempit pemahaman publik.(***)
Discussion about this post