Oleh: Firmansyah, Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik
PERNYATAAN Gubernur Jambi Al Haris yang menyebut adanya oknum yang sengaja merusak bangunan Masjid Islamic Center lalu memviralkannya, tidak bisa dianggap enteng. Sebagai orang nomor satu di Provinsi Jambi, pernyataan semacam ini sangat krusial karena menyangkut tempat ibadah umat Islam dan dapat memicu keresahan publik.
Jika benar terjadi perusakan, maka pelakunya harus diproses secara hukum. Namun jika pernyataan itu tidak berdasar, justru bisa menjadi informasi menyesatkan dan membahayakan ketenteraman masyarakat Jambi yang mayoritas Muslim.
Situasi makin rumit ketika muncul pernyataan dari seorang aktivis yang menyinggung pembangunan masjid oleh kontraktor non-Muslim, sehingga diragukan arah kiblatnya. Pernyataan seperti ini tidak hanya memperkeruh suasana, tetapi juga berpotensi mengganggu kerukunan antarumat beragama di Jambi.
Dalam konteks hukum, menyebarkan informasi bohong atau pernyataan palsu yang menimbulkan keonaran bisa dikenai sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (1) dan (3), serta Pasal 45A ayat (1) dan (3). Demikian pula Pasal 14 dan 15 KUHP mengatur sanksi terhadap penyebaran berita bohong yang menimbulkan keresahan.
Dengan dasar itu, pernyataan Gubernur Al Haris harus segera ditindaklanjuti. Jika benar ada perusakan, sebaiknya dilaporkan ke pihak kepolisian agar diproses sesuai hukum. Namun jika tidak terbukti, Gubernur harus bersikap ksatria dengan mengklarifikasi dan meminta maaf kepada masyarakat.
Pidana adalah pintu terakhir dalam penegakan hukum (asas ultimum remedium). Masyarakat memang memiliki hak melaporkan pernyataan yang dinilai bohong, namun dalam suasana seperti ini, permintaan maaf dari pemimpin adalah sikap yang paling bijak dan dibutuhkan saat ini.(***)
Discussion about this post