Oleh: Nazli,Pemerhati tata kelola energi dan kebijakan publik
KETIKA Pemerintah Provinsi Jambi mengumumkan rencana legalisasi terhadap 11.509 sumur minyak rakyat, publik menyambutnya dengan dua perasaan yang bertolak belakang: harapan dan waspada. Harapan, karena akhirnya negara mengakui keberadaan ribuan warga yang selama puluhan tahun hidup dari minyak bumi yang mereka gali dengan tangan sendiri. Waspada, karena kebijakan sebesar ini berpotensi melahirkan ladang rente baru bila tidak disertai transparansi dan integritas yang nyata.
Dari total 11.509 sumur tersebut, sebanyak 9.885 berada di Kabupaten Batang Hari, menjadikannya pusat harapan sekaligus kerentanan minyak rakyat Jambi. Di daerah ini, para penambang tradisional bekerja dengan peralatan seadanya, mengandalkan modal dari cukong, dan menjual minyak tanpa kepastian harga. Ketika pemerintah berbicara tentang “legalisasi”, rakyat menanti kepastian: apakah mereka benar-benar akan dilibatkan, atau hanya dijadikan pajangan partisipatif sementara kendali ekonomi tetap di tangan elit?
BUMD yang selama ini tertidur panjang mendadak muncul sebagai pemain utama. Koperasi rakyat dibentuk tergesa-gesa menjelang proyek legalisasi, seolah hanya untuk memenuhi syarat administratif. Kondisi ini berisiko menciptakan struktur ketimpangan baru, di mana rakyat tetap di posisi paling bawah, hanya berganti baju dari ilegal menjadi dilegalkan.
Di Muaro Jambi, tercatat 1.336 sumur, namun sebagian besar belum diverifikasi secara lapangan. Sementara di Sarolangun, terdapat 288 sumur, banyak di antaranya berada di sekitar wilayah konsesi perusahaan migas besar, yang potensial menimbulkan konflik antara masyarakat dan korporasi. Masalah utamanya bukan sekadar jumlah, tapi kejelasan data dan batas hukum. Tanpa verifikasi berbasis teknologi seperti GIS atau drone mapping, program legalisasi justru berisiko membuka peluang penyimpangan: permainan data, pungutan liar, bahkan munculnya “sumur fiktif” demi mengejar legalitas.
Legalitas bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah awal menuju keadilan energi. Negara harus memastikan siapa yang benar-benar diuntungkan. Jika rakyat hanya dijadikan tameng moral sementara keuntungan mengalir ke segelintir pejabat atau pengusaha, maka proyek ini gagal baik secara etik maupun politik. Banyak penambang di lapangan bahkan tidak memahami apa itu KKKS, bagaimana sistem bagi hasil, dan ke mana minyak mereka akan dijual setelah dilegalkan. Tanpa pendampingan hukum dan edukasi ekonomi, legalisasi hanya akan mengganti bentuk ketidakadilan: dari kriminalisasi menjadi subordinasi.
Pemerintah perlu mengambil tiga langkah mendesak untuk menjaga akal sehat kebijakan ini. Pertama, membentuk Satgas Transparansi Migas Rakyat Jambi yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, jurnalis, dan masyarakat sipil agar tidak dimonopoli oleh satu kepentingan. Kedua, membuka data secara publik setiap sumur, nama pengelola, hingga skema bagi hasil harus bisa diakses masyarakat. Transparansi adalah vaksin bagi korupsi. Ketiga, menerapkan sistem digital untuk pencatatan produksi, menggunakan teknologi pelacakan dan blockchain agar setiap liter minyak benar-benar tercatat dan tidak menguap di tengah jalan.
Legalisasi 11.509 sumur minyak rakyat adalah ujian besar bagi moralitas politik dan kapasitas pemerintahan Jambi. Apakah pemerintah berani berpihak pada rakyat kecil, atau sekadar menulis sejarah di atas penderitaan mereka? Bila dikelola dengan integritas dan akuntabilitas, Jambi berpeluang menjadi model nasional energi rakyat berbasis keadilan lokal. Namun jika tidak, kebijakan ini hanya akan menambah daftar panjang ironi: rakyat tetap menggali tanahnya sendiri, sementara hasilnya tetap milik orang lain.
*Tulisan ini merupakan refleksi independen atas tata kelola energi daerah dan hak ekonomi rakyat.
Discussion about this post