Oleh: Firmansyah, SH.MH.
Pendiri LBH Siginjai
PUBLIK Jambi dikejutkan oleh beredarnya video banjir dan kebocoran pada bangunan megah yang disebut sebagai Masjid Raya Tsamaratul Insan atau Jambi Islamic Center. Masjid yang digadang-gadang menjadi ikon baru provinsi ini tampak belum sempurna. Kepala Dinas PUPR Provinsi Jambi telah mengonfirmasi bahwa bangunan tersebut masih dalam masa perawatan dan akan segera diperbaiki.
Namun, sebagai pemerhati hukum dan lingkungan, saya menilai bahwa masalah yang terjadi bukan hanya pada aspek teknis bangunan semata, melainkan juga menyangkut aspek hukum dan administratif yang mendasarinya.
Pembangunan Jambi Islamic Center dimulai pada 2022 dengan skema multi years, dan direncanakan menelan biaya sekitar Rp150 miliar dari APBD Provinsi Jambi. Lokasinya berada di lahan bekas arena MTQ, tepat di samping Kebun Binatang Taman Rimba Jambi.
Lahan tersebut awalnya diperuntukkan bagi kebun binatang yang didirikan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Jambi pada 1973. Baru pada 1997, status kepemilikannya beralih ke pemerintah, dan kini berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi.
Pertanyaan mendasar muncul: Apa status hukum Masjid Tsamaratul Insan yang kini telah berdiri megah di atas lahan tersebut? Apakah sebelum dibangun sudah dilakukan pemecahan sertifikat atau hibah atas kawasan itu? Apakah kawasan tersebut telah dikaji secara menyeluruh dari sisi tata ruang dan peruntukannya?
Perlu digarisbawahi, proyek ini sejak awal disebut sebagai Islamic Center, bukan masjid. Artinya, fungsi dan desain awal mungkin tidak spesifik sebagai tempat ibadah utama, melainkan kompleks kegiatan keislaman. Jika demikian, bagaimana proses perubahan peruntukannya? Dan lebih penting lagi, apakah semua proses administrasi dan legalnya telah dilalui dengan benar?
Jika sebuah proyek pemerintah dibangun tanpa kejelasan legal-formal, atau cacat administrasi, lalu akhirnya tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hal itu berpotensi menjadi kerugian keuangan negara. Dalam konteks hukum, hal seperti itu bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi (Tipikor).
Pemerintah Provinsi Jambi harus transparan membuka semua dokumen terkait proyek ini: mulai dari perencanaan, studi kelayakan, status kepemilikan lahan, hingga proses penganggaran. Masyarakat berhak tahu, bukan hanya soal dana yang digelontorkan, tetapi juga kepastian hukum dari bangunan yang didirikan atas nama publik.
Kita semua tentu menginginkan keberadaan masjid yang representatif dan menjadi kebanggaan umat. Namun, jika pembangunannya mengabaikan prinsip tata kelola yang baik, maka keberadaannya justru dapat menjadi simbol pemborosan dan ketidakjelasan hukum di tengah publik. (**”)
Discussion about this post