Oleh :Firmansyah,SH.MH,Lawyer
RENCANA Pemerintah Provinsi Jambi menghibahkan Jembatan Gentala Arasy kepada Pemerintah Kota Jambi kembali menarik untuk dibahas. Terlebih pasca insiden jembatan ikonik itu ditabrak tongkang batubara. Hibah ini, menurut pemerintah, dilakukan agar aset tersebut bisa lebih terawat dan dikembangkan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, alasan itu terasa ironis sekaligus menyedihkan.
Jembatan Gentala Arasy yang menelan anggaran sebesar Rp88,7 miliar saat dibangun, ternyata tak terurus dengan baik. Ia lebih sering dijadikan tempat swafoto dan jalan santai ketimbang memiliki fungsi konektivitas strategis. Padahal, dana sebesar itu seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur yang lebih berdampak langsung, seperti Jembatan Batanghari III yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Ini bukan satu-satunya contoh pembangunan yang layak dipertanyakan urgensinya. Tengoklah Jembatan Makalam. Kini, di sampingnya telah terbentang daratan milik sebuah hotel berbintang. Dengan penimbunan yang dilakukan, sungai di bawah jembatan itu nyaris tak lagi tampak. Lalu, perlukah jembatan itu dibangun sepanjang itu bila hanya melintasi aliran kecil?
Dalam konteks hukum, hibah aset daerah diatur dalam sejumlah regulasi, antara lain:
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, yang menjelaskan bahwa hibah adalah pemberian tanpa imbal balik dari satu pihak kepada pihak lain.
Permendagri No. 13 Tahun 2018, yang mengatur prosedur hibah dan bantuan sosial dari APBD.
Peraturan daerah (Perda) juga bisa diterbitkan untuk mengatur hibah secara spesifik sesuai kebutuhan daerah.
Setiap hibah antarpemerintah daerah harus dilakukan melalui perjanjian hibah resmi yang ditandatangani pejabat berwenang dari kedua belah pihak. Dokumen ini harus memuat rincian aset, nilai hibah, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Prosedurnya pun harus melalui sejumlah tahapan: persetujuan, penyusunan dan penandatanganan perjanjian, penganggaran, penyaluran, serta pelaporan.
Kesimpulannya, Pemprov Jambi memang dapat menghibahkan Jembatan Gentala Arasy ke Pemkot Jambi, selama seluruh syarat hukum terpenuhi dan disepakati kedua belah pihak. Hibah ini seharusnya bertujuan meningkatkan konektivitas serta memperkuat pengelolaan infrastruktur, bukan sekadar “membuang beban”.
Dari fenomena ini, penting untuk kita renungkan: apakah proyek-proyek besar seperti stadion di Pijoan dan Islamic Center benar-benar mendesak? Mengapa tidak memprioritaskan rehabilitasi stadion Tri Lomba Juang dan Masjid Agung yang sudah ada? Mari belajar dari masa lalu dan bertanya dengan jujur: adakah urgensinya?
Seorang pemimpin akan dikenang bukan dari banyaknya proyek yang ia bangun, tetapi dari manfaat jangka panjang yang dirasakan rakyat. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang membangun seperti Jembatan Batanghari I dan II—bukan proyek-proyek mercusuar yang justru menjadi beban anggaran di masa depan.
Semoga fenomena positif dari Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Bengkulu dalam menata aset publik juga dapat menular ke Jambi.(****)
Discussion about this post