Oleh: Firmansyah,Lawyer
KERJASAMA Build-Operate-Transfer (BOT) antara pemerintah daerah (Pemda) dan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur dinilai sebagai solusi alternatif pembiayaan. Namun, implementasinya menimbulkan sejumlah persoalan yang perlu dikaji lebih dalam.
BOT memungkinkan pihak swasta membiayai, membangun, dan mengelola proyek infrastruktur untuk jangka waktu tertentu, sebelum aset tersebut diserahkan kembali ke pemerintah. Dari sudut pandang Pemda, BOT menawarkan beberapa keuntungan strategis.
Kelebihan Skema BOT
BOT memberikan alternatif pendanaan di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Beberapa manfaat utama skema ini meliputi, pertama Optimalisasi Aset Daerah: Aset-aset yang sebelumnya tidak produktif dapat dimanfaatkan dan menghasilkan pendapatan tambahan. Kedua, peningkatan Ekonomi Lokal. Proyek BOT berpotensi membuka lapangan kerja dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Ketiga, Transfer Teknologi. Keterlibatan pihak swasta kerap membawa teknologi modern serta sistem manajemen yang lebih efisien dan keempat Efisiensi Anggaran. Dimana, BOT memungkinkan pelaksanaan proyek besar tanpa membebani APBD secara langsung.
Dibalik kelebihannnya, tentu BOT menyimpan sejumlah resiko dan tantangan, diantaranya, hilangnya kendali aset. Selama masa kontrak, kontrol atas aset berada di tangan swasta, yang bisa menimbulkan persoalan tata kelola. Kemudian ketidakpastian Pasca-Kontrak: Aset yang dikembalikan ke Pemda bisa saja dalam kondisi rusak atau memerlukan biaya besar untuk pemulihan. Kompleksitas Hukum, Perjanjian BOT yang melibatkan banyak pihak menuntut regulasi jelas dan perjanjian hukum yang kuat dan penyalahgunaan Aset: Terdapat kasus di mana aset hasil BOT dijadikan jaminan pinjaman ke bank tanpa sepengetahuan Pemda.
Landasan Hukum BOT di Indonesia didasari oleh beberapa peraturan, antara lain, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: Menegaskan asas kebebasan berkontrak. PP No. 38 Tahun 2008: Menjelaskan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan dan Keputusan Menkeu No. 248/KMK.04/1995 jo SE-38/PJ.4/1995: Mendeskripsikan skema BOT antara pemilik hak atas tanah dan investor.
Di Provinsi Jambi, sejumlah proyek BOT telah menimbulkan polemik. Salah satu yang menonjol adalah pembangunan Pasar Angso Duo, WTC Batanghari, Jambi City Center, Ratu Hotel & Convention Center dan terbaru Jambi Bisnis Center. Aset Pemda ini diserahkan pengelolaannya ke swasta selama puluhan tahun. Sejumlah pihak menilai durasi konsesi terlalu lama, sementara kontribusi terhadap pendapatan daerah tidak sebanding.
Selain itu, terdapat laporan bahwa beberapa aset hasil BOT di Jambi dijadikan agunan kredit oleh investor, tanpa pelibatan Pemda. Berdasarkan catatan dari Inspektorat Provinsi Jambi dan BPK RI Perwakilan Jambi, beberapa proyek BOT juga belum memenuhi standar administrasi dan pengawasan yang ideal. Hal ini memperkuat urgensi perlunya kajian ulang terhadap pola dan kontrak kerja sama yang berlaku.
Intinya, skema BOT memiliki potensi besar dalam mendukung pembangunan daerah, namun membutuhkan pengawasan ketat dan perencanaan yang matang. Pemerintah daerah harus memperkuat kajian hukum dan teknis sebelum menandatangani perjanjian BOT, serta melibatkan lembaga pengawas sejak awal proses perencanaan.
Tanpa kehati-hatian, BOT bisa berubah dari peluang menjadi beban yang membatasi ruang fiskal dan tata kelola daerah.(***)
Discussion about this post