UNDANG-Undang Nomor 11 Tahun 2020, atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), secara normatif tidak memberikan ruang bagi praktik pelanggaran atau perusakan lingkungan atas nama investasi. Meskipun tujuan utamanya menyederhanakan perizinan, UU ini tetap mengamanatkan perlindungan lingkungan sebagai prinsip yang tak terpisahkan dari setiap kegiatan usaha. Namun, kekhawatiran yang kian memuncak muncul akibat implementasi yang tidak sesuai, penyalahgunaan izin, atau kelemahan pengawasan di lapangan. Kasus penolakan proyek pembangunan jalan angkut dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) batubara PT. Sinar Anugrah Sentosa (PT. SAS) di Jambi menjadi cerminan nyata dari persoalan ini.
Penegasan akan hal ini salah satunya disampaikan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, yang menyebutkan bahwa Omnibus Law, meski dirancang untuk memangkas birokrasi dan menarik investasi, bukan berarti mengorbankan aspek keberlanjutan lingkungan. Beliau menekankan betapa pentingnya penegakan hukum dan pengawasan di lapangan agar semangat efisiensi tidak disalahartikan sebagai liberalisasi perusakan lingkungan. Pandangan ini didukung oleh berbagai akademisi dan praktisi hukum lingkungan yang konsisten menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian dan pembangunan berkelanjutan tetap menjadi fondasi hukum di Indonesia. Bahkan, meskipun ada simplifikasi regulasi, jurnal Environmental Permits in Omnibus Law and Its Impact on Environmental Preservation menjelaskan bahwa kepatuhan terhadap baku mutu lingkungan tetap menjadi syarat utama.
Undang-Undang Cipta Kerja, secara fundamental, tidak melegitimasi perusakan lingkungan atas nama investasi. Sebaliknya, UU ini secara eksplisit memuat ketentuan yang mewajibkan kajian dampak lingkungan dan pemenuhan standar lingkungan. Ini adalah bukti nyata bahwa semangat investasi dalam Omnibus Law berjalan seiring dengan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, bukan sebagai alasan untuk mengabaikannya. Beberapa pasal penting yang mengatur aspek lingkungan hidup, meskipun ada perubahan dari UU sebelumnya, antara lain: Pertama, Pasal 22 (perubahan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup): Mengatur kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi usaha yang berdampak penting. Ini menunjukkan bahwa proyek-proyek dengan potensi dampak signifikan tetap harus melewati proses evaluasi yang ketat. Ke dua, Pasal 24 (perubahan Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2009): Mengatur komponen-komponen yang harus dimuat dalam dokumen AMDAL. Detil ini memastikan bahwa penilaian dampak lingkungan dilakukan secara komprehensif. Ketiga, Pasal 33 (perubahan Pasal 33 UU No. 32 Tahun 2009): Mengatur izin lingkungan, yang kini terintegrasi sebagai “Persetujuan Lingkungan” dalam perizinan berusaha. Penting untuk digarisbawahi bahwa substansi pemenuhan standar dan baku mutu lingkungan tetap berlaku, menegaskan bahwa perubahan nomenklatur tidak berarti pelonggaran standar.Empat, Pasal 38 (perubahan Pasal 38 UU No. 32 Tahun 2009): Menegaskan kewajiban setiap orang untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal ini secara langsung membebankan tanggung jawab pada pelaku usaha untuk menjaga kualitas lingkungan.Lima, Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja: Tetap mempertahankan sanksi pidana dan denda bagi pelanggaran yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Keberadaan sanksi ini adalah penegasan kuat bahwa UU tidak memberikan impunitas bagi pelanggar lingkungan.
Pasal-pasal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Omnibus Law tidak hanya sekadar “tidak melegitimasi”, tetapi secara aktif mengamanatkan perlindungan lingkungan melalui mekanisme AMDAL, persetujuan lingkungan, kewajiban memenuhi baku mutu, dan sanksi pidana. Apabila terjadi perusakan lingkungan, hal tersebut bukan karena legitimasi dari undang-undang, melainkan karena penyimpangan dalam implementasi, pengawasan yang lemah, atau pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas.
Kasus penolakan PT. SAS di Kelurahan Aur Kenali dan Mendalo Darat, Muaro Jambi, menjadi cerminan nyata bagaimana dugaan penyimpangan implementasi regulasi dapat memicu konflik serius. Warga setempat menolak proyek tersebut karena merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, sebuah tindakan yang melanggar prinsip partisipasi publik.
Salah satu poin krusial yang memperkuat argumentasi bahwa proyek PT. SAS merupakan pelanggaran hukum lingkungan adalah dugaan pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi. Lokasi pembangunan TUKS dan stockpile batubara PT. SAS di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura (atau Alam Barajo), Kota Jambi, secara tegas bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi Nomor 9 Tahun 2013 tentang RTRW Kota Jambi Tahun 2013-2033 (yang kemudian diganti oleh Perda Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang RTRW Kota Jambi Tahun 2024-2044). Perda tersebut secara eksplisit menetapkan bahwa Aur Kenali merupakan kawasan pemukiman, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan sempadan sungai.
Kawasan pemukiman, RTH, dan sempadan sungai jelas-jelas tidak diperuntukkan untuk kegiatan industri berat seperti penimbunan dan bongkar muat batubara (TUKS). Kegiatan batubara umumnya memerlukan zonasi industri atau pertambangan yang terpisah dari area sensitif seperti pemukiman. Pembangunan TUKS dan stockpile di lokasi ini secara langsung melanggar peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam RTRW Kota Jambi. Bahkan, Perda Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Jambi Tahun 2023-2043 juga menyatakan bahwa lokasi stockpile Aur Kenali seharusnya berada di kawasan pertanian, dengan batasan hanya untuk perkebunan, pemukiman petani dengan kepadatan rendah, serta sarana dan prasarana pertanian, yang semakin memperkuat ketidaksesuaian ini.
Warga juga mengeluhkan bahwa PT. SAS melakukan penimbunan di kawasan rawa yang menjadi daerah resapan air bagi perumahan Aur Kenali, yang dikhawatirkan dapat menyebabkan banjir besar. Ini bertentangan dengan fungsi ekologis rawa sebagai daerah resapan air atau kawasan lindung yang memiliki fungsi hidrologis penting untuk pengendalian banjir dan konservasi keanekaragaman hayati yang termuat dalam RTRW. Meskipun PT. SAS mengklaim telah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Kota Jambi dan WALHI Jambi tetap menegaskan bahwa Perda RTRW Kota Jambi adalah peraturan yang harus dipatuhi. Konflik ini menyoroti perlunya harmonisasi antara kebijakan pusat dan daerah, serta penegakan hukum yang konsisten dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran RTRW dan ketentuan lingkungan, semangat investasi dalam Omnibus Law akan disalahartikan sebagai lisensi untuk merusak lingkungan, sebuah narasi yang harus diluruskan.
Selain dampak lingkungan langsung, keberadaan proyek batubara yang berlokasi tidak sesuai peruntukan ini juga menimbulkan kekhawatiran serius terhadap infrastruktur vital Jambi. Peningkatan aktivitas angkutan batubara, baik melalui darat maupun sungai, berpotensi merusak Jembatan Batanghari I dan II serta ikon wisata Gentala Arasy. Jembatan-jembatan ini, sebagai urat nadi transportasi utama di Jambi, tidak dirancang untuk menahan beban berlebih dan getaran intensif dari lalu lintas truk batubara yang melampaui kapasitas jalan. Kerusakan pada jembatan-jembatan ini akan melumpuhkan perekonomian dan mobilitas masyarakat. Begitu pula dengan Gentala Arasy, yang merupakan simbol budaya dan pariwisata Jambi, dapat terancam keberlangsungannya akibat dampak polusi udara, kebisingan, dan potensi kerusakan struktural jika aktivitas batubara tidak terkontrol. Potensi kehancuran infrastruktur ini menjadi pertimbangan krusial yang harus diwaspadai dalam konteks perizinan dan pengawasan proyek investasi.
Dalam kasus PT. SAS, penolakan warga karena kurangnya partisipasi dan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan menyoroti potensi pelanggaran terhadap hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang lainnya. Jika pembangunan jalan angkut batubara tersebut benar-benar menimbulkan pencemaran udara, suara, dan ancaman banjir yang signifikan, maka ini adalah pelanggaran langsung terhadap hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Konflik PT. SAS di Aur Kenali adalah contoh nyata bagaimana pembangunan fasilitas batubara dapat bertentangan dengan RTRW Kota Jambi karena lokasinya yang secara jelas diperuntukkan sebagai area pemukiman, Ruang Terbuka Hijau, dan sempadan sungai, bukan untuk kegiatan industri atau pertambangan berat. Ini mencerminkan konflik antara kepentingan investasi dan penegakan tata ruang yang bertujuan melindungi lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku:
Kartodihardjo, H. (2018). Politik Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jurnal:
Amal, B. K., & Pradana, A. N. (2021). Environmental Permits in Omnibus Law and Its Impact on Environmental Preservation. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 8(2), 123-140.
Sari, R. N., & Lestari, S. D. (2021). ADMINISTRATIVE AND ENVIRONMENTAL LAW REVIEW. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 7(1), 1-15.
Syahrizal, A. (2022). Partisipasi Publik dalam Penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Pasca Berlakunya Undang-Undang/Perppu Cipta Kerja. Jurnal Ilmu Hukum, 12(1), 45-60.
Media Daring:
Mongabay. (2020, Oktober 8). Indonesia’s Omnibus Law a ‘major problem’ for environmental protection. Diakses dari https://news.mongabay.com/2020/10/indonesias-omnibus-law-a-major-problem-for-environmental-protection/
Berita-berita lokal dan nasional terkait penolakan PT. SAS di Jambi (misalnya dari ANTARA Jambi, Kompas.com, Detik.com, dll.
Peraturan Perundang-undangan Daerah:
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Tahun 2013-2033.
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Tahun 2024-2044.
Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi Tahun 2023-2043.(**)
Discussion about this post