PENERTIBAN Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak bisa dilakukan secara serampangan. Sebagai negara hukum, Indonesia menuntut kepatuhan terhadap aturan, bukan tindakan koersif (memaksa) mengatas namakan ketertiban umum. Jika Pemerintah Kota Jambi melakukan penggusuran sepihak tanpa prosedur yang sah dan dasar hukum yang kuat, maka tindakan tersebut berpotensi digugat secara perdata sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
PKL adalah bagian dari rakyat yang hak konstitusionalnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 Ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Oleh karena itu, tindakan menggusur tanpa pendekatan persuasif, tanpa sosialisasi yang memadai, dan tanpa solusi alternatif atas mata pencaharian mereka, merupakan bentuk ketidakadilan yang mencederai konstitusi.
Rencana penertiban PKL di kawasan Talang Banjar, Kecamatan Jambi Timur, yang dijadwalkan pada 11 Juni 2025, berpotensi menimbulkan konflik hukum. Apabila tindakan tersebut terbukti merugikan secara materiil maupun immateriil, para PKL memiliki hak penuh untuk menggugat Pemkot Jambi ke Pengadilan Negeri. Gugatan ini bukan sekadar opsi, melainkan bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang mengabaikan prinsip good governance.
Pemkot Jambi disebut akan menggunakan dasar hukum berupa Perda No. 47 Tahun 2022, Perda No. 4 Tahun 2017, dan Perda No. 12 Tahun 2016. Namun dari ketiganya, yang paling relevan dalam konteks PKL adalah Perda No. 12 Tahun 2016 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL. Pertanyaannya: sudahkah Perda ini dijalankan secara utuh dan konsisten? Apakah Wali Kota telah menginstruksikan aparat di tingkat kecamatan dan kelurahan untuk memahami serta mengimplementasikannya sebelum eksekusi lapangan dilakukan?
Perda tersebut, khususnya Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 44, secara jelas mengatur soal prosedur penertiban dan sanksi. Jika ketentuan itu belum dijalankan sebagaimana mestinya, maka potensi gugatan PMH terbuka lebar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan muncul laporan pidana dari para PKL ke Polda Jambi.
Meski tidak semua PKL memiliki izin usaha, bukan berarti mereka kehilangan hak atas perlindungan hukum. Mereka tetap warga negara yang berhak atas pendampingan hukum, perlakuan adil, dialog terbuka, dan solusi menyeluruh dari pemerintah. Pemerintah seharusnya menjadi pelayan publik, bukan justru represif terhadap kelompok ekonomi lemah.
Penertiban semestinya berpijak pada filosofi keteraturan ruang publik yang harmonis. Artinya, tidak cukup hanya menegakkan perda, tetapi juga wajib menghadirkan keadilan sosial. Penggusuran tanpa menyediakan ruang usaha alternatif yang layak justru akan menjadi bentuk kekuasaan yang menindas. Ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga rawan digugat di meja hijau.(***)
Discussion about this post