GMSMEDIA.CO.ID-Desakan publik agar Polda Jambi bertindak tegas menutup total praktik tambang emas ilegal (PETI) atau lubang tikus di Kabupaten Bungo semakin menguat. Meski operasi berkali-kali dilakukan, aktivitas ilegal ini justru makin marak dan disebut-sebut menjadi sumber pendanaan jaringan narkoba.
Pada 21–22 Februari 2025 lalu, Polres Bungo bersama aparat gabungan sempat menghancurkan 11 titik PETI di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang. Lima bulan kemudian, 15 Juli 2025, satgas gabungan Polri, TNI, Satpol PP, BPBD, dan instansi lain kembali menindak dua rakit dompeng di Sungai Buluh serta menyita mesin diesel, selang, dan peralatan lain. Namun bukannya surut, lubang tikus di wilayah tersebut justru bertambah.
Lebih mengejutkan, laporan media pada 22 Agustus 2025 mengungkap adanya pungutan rutin oleh bos PETI di Dusun Baru, Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang. Mereka disebut menyetor Rp5–10 juta per lubang per bulan kepada pengurus Forum Musyawarah Masyarakat Bukit Marayo, forum yang bahkan difasilitasi pemerintah dusun pada 9 Agustus 2025. Dengan 40 lubang aktif, pungutan bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulan. Nama-nama penagih setoran pun disebut terang-terangan.
Aktivitas pengolahan emas ilegal pun berlangsung terang-terangan. Puluhan gelundungan atau penggiling emas berdiri di hampir setiap desa di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang, bahkan ada yang beroperasi dekat dengan kantor Polsek. Kondisi ini memicu pertanyaan masyarakat mengenai lemahnya pengawasan aparat.
“Seolah-olah tidak ada yang menganggap ini masalah, padahal kerugian dan dampaknya sangat besar,” ungkap seorang warga.
Lebih mencemaskan, dana pungutan liar dari lubang tikus diduga kuat mengalir ke peredaran narkoba. Sumber internal kepolisian menyebut sejumlah kasus narkotika di Bungo berkaitan dengan jaringan pelaku PETI.
Aktivis Gerakan Anak Bangsa (GAB) Peduli, Syaiful Iskandar, menegaskan penutupan lubang tikus tidak bisa ditawar-tawar lagi.
“Lubang tikus di Bungo harus ditutup total. Ini bukan hanya soal penyelamatan lingkungan dan potensi ekonomi negara, tetapi juga soal memutus aliran dana narkoba. Kalau dibiarkan, Jambi akan menghadapi kerusakan ganda: alam hancur, generasi muda pun tergadai,” tegas Syaiful.
Kerugian negara akibat PETI di Jambi juga tidak kecil. Kementerian ESDM pada 2022 mencatat produksi emas ilegal di provinsi ini mencapai 500 kilogram per tahun dengan nilai sekitar Rp550 miliar. Potensi royalti dan pajak 5 persen atau Rp27,5 miliar hilang tanpa jejak. LIPI bahkan menaksir kerugian ekologis akibat pencemaran merkuri dan rusaknya tata air bisa dua hingga tiga kali lipat nilai ekonomi, sehingga total kerugian mencapai Rp1–1,5 triliun per tahun.
Padahal, aturan hukum sudah jelas. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menegaskan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Namun lemahnya penegakan hukum dan dugaan keterlibatan oknum aparat membuat program Zero PETI selama ini dinilai sekadar formalitas.
Kini publik menunggu keberanian Polda Jambi: apakah benar-benar berani menutup lubang tikus dan gelundungan tanpa kompromi, atau justru membiarkan praktik ilegal ini terus menggerogoti ekonomi, merusak lingkungan, dan menghancurkan masa depan generasi muda Jambi. (**)
Discussion about this post