Oleh: Firmansyah,SH,MH
SERATUS hari pertama adalah masa emas bagi kepala daerah untuk menunjukkan arah kepemimpinan sekaligus membuktikan kapasitas eksekusi.
Di Provinsi Jambi, Gubernur Al Haris menandainya dengan peluncuran program ambisius bertajuk Pro-Jambi, yang disebut sebut menjadi fondasi dari visi besar Jambi MANTAP Berdaya Saing dan Berkelanjutan.
Pemerintah Provinsi Jambi memaparkan lima pilar utama dalam Pro-Jambi: Cerdas, Sehat, Tangguh, Responsif, dan Agamis. Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan. Mulai dari subsidi pendidikan dan kesehatan, dukungan untuk UMKM dan petani, hingga insentif keagamaan. Semua terangkum dalam narasi pembangunan yang terdengar sistematis dan inklusif.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Firmansyah, SH, MH pengacara dan pengamat hukum kebijakan apa yang dipaparkan tak sebanding dengan kenyataan di lapangan. “Program boleh megah, tapi rakyat butuh bukti. Seratus hari itu bukan waktu merancang, tapi momentum menunjukkan kerja nyata,” tegasnya.
Kritik tersebut diamini banyak warga Jambi yang menyampaikan kekecewaannya di media sosial, mempertanyakan keberadaan gubernur serta kinerja nyata yang bisa dirasakan langsung.
Pemerintah memang menyebut angka-angka pertumbuhan ekonomi yang membaik 4,55 persen pertumbuhan, kemiskinan menurun jadi 7,26 persen, dan inflasi di angka terkendali 2,1 persen.
Tapi di saat yang sama, penanganan banjir di Simpang Mayang dan Pucuk masih tak tertangani dengan baik. Bahkan, keberadaan aset Pemprov seperti Jambi Business Center (JBC) justru memperparah persoalan.
Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana Pro-Jambi benar-benar menyentuh akar masalah daerah? Jika komunikasi dan kolaborasi, sebagaimana disebut dalam visi pembangunan, menjadi kunci, maka implementasinya harus terlihat dari cepatnya penyelesaian persoalan krusial seperti banjir, infrastruktur rusak, dan proyek mangkrak. Sayangnya, banyak yang merasa kolaborasi yang dijanjikan belum berbanding lurus dengan kecepatan respon.
Kondisi ini kontras dengan fenomena yang kini dikenal sebagai “lapor Kang Dedi.” Sosok Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang cepat tanggap menyelesaikan persoalan masyarakat di Bekasi, menjadi pembanding keras bagi kepala daerah lain, termasuk Al Haris. Dalam waktu singkat, KDM mampu mengubah sungai mati menjadi bersih dan tertata. Publik pun membandingkan: “Vapak Aing” kerja nyata, “Wo kami” masih sibuk program.
Islamic Center Jambi yang menghabiskan dana Rp150 miliar pun tak luput dari sorotan. Hingga kini, fungsinya belum sepenuhnya maksimal selain sebagai masjid. Padahal proyek ini diharapkan menjadi pusat keagamaan dan wisata religi, sebagaimana dijanjikan saat kampanye.
Visi Jambi MANTAP Berdaya Saing dan Berkelanjutan mengedepankan tiga misi: tata kelola yang baik, daya saing sektor unggulan, dan pembangunan berbasis sumber daya manusia. Visi ini bisa jadi arah yang benar, namun tanpa tindakan konkret yang dirasakan masyarakat, ia hanya akan menjadi dokumen perencanaan yang kehilangan legitimasi publik.
Seratus hari sudah berlalu. Publik tak menuntut semua selesai, tapi setidaknya ada bukti bahwa arah pembangunan tak hanya bagus dalam narasi, tapi juga terasa di jalanan, di pemukiman warga, di sekolah dan puskesmas, serta di perut rakyat. Jika tidak, maka program sebaik apa pun hanya akan menjadi slogan kosong sementara suara rakyat yang kecewa akan terus bergema, lebih keras dari narasi pembangunan itu sendiri.(***)
Discussion about this post