Oleh: Dr. Noviardi Ferzi *
KISRUH pembangunan stockpile batubara milik PT. Sinar Anugerah Sukses (PT. SAS) di Kelurahan Aur Kenali, Kota Jambi, tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan administratif belaka. Masalah ini menyentuh jantung tata kelola ruang kota, kesehatan publik, serta kewibawaan hukum daerah. DPRD Kota Jambi, sebagai lembaga legislatif yang baru saja melahirkan Perda Nomor 5 Tahun 2024 tentang RTRW 2024–2044, tidak boleh berdiam diri. Inilah saat yang tepat bagi DPRD untuk menunjukkan keberpihakan pada hukum dan rakyat dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran PT. SAS.
Aur Kenali telah ditetapkan sebagai kawasan permukiman dalam RTRW baru. Kehadiran stockpile batubara di tengah permukiman jelas merupakan pelanggaran tata ruang yang terang-benderang. Meski PT. SAS berdalih memiliki izin lama, prinsip hukum lex posterior derogat legi priori berlaku, di mana aturan baru otomatis mengesampingkan aturan lama yang bertentangan (Marzuki, 2020). Dengan demikian, keberadaan izin lama tidak dapat dijadikan dasar untuk melawan peraturan daerah yang lebih baru.
Selain melanggar tata ruang, aktivitas stockpile batubara membawa ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat. Partikel halus batubara (PM2.5 dan PM10) terbukti berhubungan erat dengan meningkatnya kasus penyakit paru kronis, kanker, hingga gangguan kardiovaskular (Putri et al., 2019; WHO, 2021). Limpasan air hujan dari area penumpukan batubara juga berpotensi mencemari air baku PDAM dengan kandungan logam berat yang membahayakan. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan.
DPRD Kota Jambi memiliki mandat konstitusional untuk mengawasi pelaksanaan peraturan daerah. Pembentukan Pansus bukan sekadar prosedural, melainkan bentuk tanggung jawab politik dan moral kepada rakyat. Tanpa mekanisme khusus, investigasi terhadap dugaan pelanggaran PT. SAS akan terus kabur di antara tumpang tindih kewenangan antarinstansi. Melalui Pansus, DPRD dapat mengaudit seluruh legalitas perizinan PT. SAS, memanggil pihak eksekutif kota untuk dimintai pertanggungjawaban, serta mendesak tindakan tegas berupa penghentian aktivitas hingga rekomendasi relokasi. Lebih dari itu, Pansus juga akan menjadi sarana rekonsiliasi kewenangan lintas level antara Kota, Provinsi, dan Kementerian, sehingga celah hukum tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh perusahaan.
Kehadiran Pansus juga menjadi tolok ukur kredibilitas DPRD. Tidak ada gunanya mengesahkan RTRW bila pelanggarannya dibiarkan begitu saja. Masyarakat berhak bertanya apakah DPRD hanya pembuat aturan tanpa gigi, atau benar-benar pengawal konstitusi daerah. Dalam politik lokal, ketegasan DPRD akan menentukan arah pembangunan Kota Jambi, apakah berpihak pada keberlanjutan atau tunduk pada kepentingan modal.
Kasus PT. SAS adalah ujian sejarah bagi DPRD Kota Jambi. Apabila Pansus tidak segera dibentuk, DPRD akan dianggap abai terhadap amanat yang baru saja mereka sahkan sendiri dalam Perda RTRW. Sebaliknya, bila DPRD berani membentuk Pansus dan bertindak tegas, mereka akan dikenang sebagai legislatif yang benar-benar berpihak pada hukum, lingkungan, dan rakyat Jambi. Kini bola ada di tangan DPRD, dan rakyat menunggu sikap, bukan sekadar retorika.(**)
Discussion about this post