GMSMEDIA.CO.ID-Proyek pembangunan Terminal Rawasari di kawasan Pasar Kota Jambi disorot tajam. Meski telah menghabiskan dana sebesar Rp15 miliar dari pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), bangunan terminal megah tersebut hingga kini belum difungsikan secara optimal. Kondisi ini memunculkan dugaan pemborosan anggaran dan potensi penyalahgunaan keuangan negara.
Pantauan di lapangan menunjukkan, terminal yang telah rampung dibangun itu justru tampak kosong, sepi, dan tidak beroperasi sebagaimana fungsinya. Padahal, proyek ini semestinya menjadi simpul penting transportasi kota. Namun, pembangunan tersebut dinilai tidak didasari kajian kebutuhan yang kuat, terutama di tengah kondisi angkutan kota (angkot) di Jambi yang sudah hampir mati suri.
“Sejak awal, urgensi proyek ini sudah dipertanyakan masyarakat. Sekarang terbukti, terminalnya mangkrak dan tak memberi manfaat nyata,” ujar Firmansyah, SH, MH, seorang pengacara yang menyoroti proyek tersebut kepada gmsmedia.co.id.
Ia menyebut proyek seperti ini berpotensi menjadi objek tindak pidana korupsi (Tipikor), terutama jika memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang dan menyebabkan kerugian negara.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengeluaran negara yang tidak berdampak positif dan menimbulkan kerugian nyata, baik karena kelalaian maupun keputusan yang tidak akuntabel, dapat dijerat sebagai tindak pidana.
“Bukan hanya soal uang yang dikorup untuk kepentingan pribadi. Ketika kebijakan atau proyek tidak memberi manfaat dan menimbulkan kerugian, itu bisa masuk ranah pidana,” tegas Firmansyah.
Terminal Rawasari dibangun dengan peruntukan awal sebagai pusat aktivitas angkutan kota (angkot) dan relokasi pedagang kaki lima (PKL). Namun, menurut Firmansyah, kenyataannya kini justru tidak jelas fungsi maupun pengelolaannya. “Sudah pasti terminal itu dibangun untuk angkot. Tapi sekarang mana angkotnya? Mana PKL-nya?” ujarnya.
Ia juga mengkritik rencana Wali Kota Jambi, Maulana, yang ingin menjadikan terminal tersebut sebagai ruang kreatif bagi anak muda. Menurutnya, perubahan fungsi terminal tanpa dasar hukum yang jelas justru berisiko menyalahi aturan.
“Jangan asal-alih fungsi. Ini aset pemerintah daerah, bukan usaha pribadi yang bisa suka-suka pemiliknya, Harus ada kejelasan dasar hukum bila ingin mengalih fungsikan Terminal Rawasari itu.
Selama peruntukan awalnya belum diluruskan secara legal, sebaiknya jangan dulu dialihfungsikan,” katanya.
Firmansyah menyarankan, jika memang ingin memaksimalkan fungsi terminal, lebih baik pemerintah kota kembali pada tujuan awal: menata PKL dan sektor transportasi. Jika itu tak memungkinkan, maka perlu ada revisi formal atas rencana dan dasar hukum proyek tersebut agar tidak menjadi celah pelanggaran.
Ia mendorong aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, hingga KPK, untuk mulai melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek pembangunan di daerah, DPRD jamgan diam saja dalm fungsi pengawasan, termasuk Terminal Rawasari. Audit tersebut menurutnya harus mencakup tahapan perencanaan, penganggaran, hingga output proyek.
Tidak hanya aparat, publik pun didorong untuk aktif mengawasi proyek yang dibiayai dari uang rakyat. “Pembangunan harus transparan. Akses terhadap dokumen perencanaan dan realisasi proyek adalah hak masyarakat,” imbuhnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Kota Jambi terkait tindak lanjut pemanfaatan terminal tersebut. Sementara itu, gedung terminal senilai miliaran rupiah itu masih terbengkalai, menjadi simbol bisu dari lemahnya perencanaan dan pengawasan pembangunan di daerah.(zir)
Discussion about this post