Oleh: Nazli, Direktur Pemenangan Al-Haris–Sani
Sejak awal digagas, Pelabuhan Ujung Jabung dipromosikan sebagai “pintu gerbang emas” bagi perekonomian Jambi. Proyek strategis yang disebut-sebut akan membuka isolasi perdagangan dan mempercepat arus distribusi barang ini seharusnya menjadi kebanggaan daerah. Namun, alih-alih menghadirkan manfaat, proyek yang sudah bertahun-tahun berjalan itu justru kembali tercoreng oleh dugaan praktik korupsi pengadaan lahan akses jalan.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi telah memanggil sejumlah pejabat dan mantan pejabat, mulai dari staf, Kabid, Plt Kadis PUPR, mantan Kabag Otda, hingga mantan Sekda Provinsi. Rantai panjang birokrasi yang terseret memperlihatkan bahwa masalah ini tidak lagi bisa dianggap sekadar ulah “oknum”. Ada pola yang mengakar, pola klasik penyalahgunaan kekuasaan yang terus diwariskan dari rezim ke rezim.
Modus yang ditudingkan pun bukanlah hal baru. Dana ganti rugi bernilai miliaran rupiah cair dengan lancar, tetapi rakyat pemilik tanah justru tidak menerima hak mereka. Tanda tangan masyarakat diduga hanya dijadikan formalitas di atas lembar kosong. Inilah bentuk korupsi yang paling telanjang: rakyat kecil dikorbankan, pembangunan dijadikan kedok, sementara segelintir pejabat dan kroninya kenyang menikmati hasilnya. Jika terbukti, kasus ini bukan sekadar tindak pidana, melainkan pengkhianatan terhadap amanah pembangunan. Rakyat kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan, dan lebih dari itu, mereka kehilangan martabat karena dipermainkan oleh aparat yang seharusnya melindungi hak-hak mereka.
Pelabuhan Ujung Jabung sudah terlalu lama hanya menjadi mercusuar janji. Ia selalu disebut dalam setiap rencana besar, setiap janji politik, tetapi realisasinya tak kunjung jelas. Kini, dugaan korupsi lahan membuka tabir mengapa proyek ini selalu terhambat. Bukan semata-mata soal teknis, bukan pula soal dana, melainkan soal moral para pejabat yang mengelola proyek tersebut. Ketika pembangunan dijadikan ladang mencari keuntungan pribadi, wajar jika Ujung Jabung hanya menjadi proyek setengah jalan. Yang dirugikan tentu bukan hanya negara secara finansial, tetapi juga masyarakat Jambi yang menunggu janji kesejahteraan dari proyek itu.
Kejati Jambi kini menghadapi ujian besar. Publik menanti, apakah kasus ini akan benar-benar dituntaskan hingga menyentuh aktor utama, ataukah hanya berhenti pada level bawahan birokrasi. Sejarah panjang pemberantasan korupsi di daerah menunjukkan pola yang sama: staf kecil menjadi tumbal, sementara pejabat tinggi yang sesungguhnya menjadi dalang justru lolos dari jeratan hukum. Inilah momen yang akan mengukur seberapa serius penegakan hukum di Jambi. Apakah hukum benar-benar ditegakkan untuk keadilan rakyat, atau hanya sekadar formalitas untuk meredam kritik publik?
Rakyat Jambi sudah terlalu lama dipaksa bersabar. Mereka menanti hadirnya pelabuhan yang dijanjikan akan membuka jalan kesejahteraan, tetapi yang mereka terima hanyalah berita tentang korupsi demi korupsi. Jika kasus ini tidak dituntaskan dengan adil, maka Pelabuhan Ujung Jabung hanya akan menjadi simbol lain dari kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Sudah saatnya aparat hukum menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan elite. Jangan biarkan proyek sebesar Ujung Jabung yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah berubah menjadi monumen korupsi berjamaah.
Pembangunan seharusnya menjadi wujud nyata janji negara kepada rakyat. Namun, ketika pembangunan dikotori oleh korupsi, janji itu berubah menjadi luka. Pelabuhan Ujung Jabung masih menyimpan harapan besar bagi Jambi, tetapi harapan itu hanya akan terwujud jika penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu. Masyarakat Jambi berhak atas pembangunan yang bersih dan berintegritas. Dan Kejati Jambi kini punya kesempatan untuk membuktikan bahwa hukum bukan hanya tajam ke bawah, tetapi juga berani menegakkan keadilan hingga ke puncak kekuasaan.(**)
Discussion about this post